Berita

Wahyu Setiawan/Net

Wawancara

WAWANCARA

Wahyu Setiawan: Bekas Faedofilia Dan Bandar Narkoba Tak Boleh Nyaleg, Kok Eks Koruptor Boleh

JUMAT, 25 MEI 2018 | 09:09 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) kelahi­ran Banjarnegara, 5 Desember 1973 ini menegaskan, bekas narapidana kasus korupsi haram nyaleg. Wahyu Setiawan menyarankan pihak-pihak yang tak setuju, silakan membawanya ke Mahkamah Agung (MA).

Seperti diketahui, dalam ra­pat dengar pendapat bersama Komisi II DPR, wakil rakyat meminta KPU tak melarang eks terpidana kasus korupsi mendaftar sebagai caleg. Selain DPR, pemerintah dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga memi­liki sikap yang sama. Berikut ini penjelasan Komisioner KPU Wahyu Setiawan kepada Rakyat Merdeka:

Mengapa KPU hingga kini masih tetap bersikeras menolak usulan yang membolehkan eks napi korupsi menjadi caleg?
Setelah pulang rapat dengan Komisi II pada Selasa (22/5) sore, malamnya kami langsung rapat pleno. Dari hasil rapat pleno kita adalah, kita tetap pada usulan rapat pleno kita. Yaitu melarang narapidana koruptor untuk men­jadi calon anggota legislatif.

Bagaimana kalau nanti ter­jadi deadlock dalam pemba­hasan ini?

Ya menurut peraturan perun­dang-undangan, sekarang ini kan rapat konsultasi tidak mengikat. Artinya jika tidak menemui titik temu, ya kita menghargai dan menghormati sikap masing-masing lembaga.

Lalu, jika ada pihak yang tidak sependapat?
Nah, perkara nanti ada pihak-pihak yang merasa berkeberatan dengan peraturan KPU, kan ada mekanisme pengujian melalui Mahkamah Agung (MA).

Oh berarti KPU akan terus pasang badan dengan usulan ini?

Ini bukan secara tidak langsung, namun secara langsung KPU akan tetap pada usulan awal yaitu melarang mantan napi korupsi menjadi caleg. Kita memang dalam rapat pleno itu sudah memutuskan akan tetap memperjuangkan norma tersebut dalam aturan KPU.

Terus apa strategi KPU dalam menghadapi pihak yang keu­keuh menolak larangan ini?
Ya, tentunya kita akan men­jelaskan secara terbuka kepa­da Komisi II DPR, pemerintah dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengenai sikap dan posisi KPU terkait dengah hal tersebut dan disertai dengan argu­mentasinya. Jadi kami kan tidak asal-asalan mengajukan norma itu, tetapi kan kita juga sudah menjelaskan tentang latar bela­kang argumentasi dari keputusan yang kita ambil.

Ya, kalau dari DPR kan me­mang berpandangan, yang ber­hak mencabut hak politik seseorang kan pengadilan, bukan KPU, begitu. Tetapi perlu juga diketahui secara analogi untuk narapidana paedofilia atau keja­hatan terhadap anak-anak, terus untuk narapidana bandar narkoba kan juga tidak melalui keputusan pengadilan, namun pelarangan itu berada di undang-undang, kan seperti itu ya.

Jadi argumentasi DPR itu tidak konsisten, karena itu tidak berlaku pada napi paedofilia dan bandar narkoba. Lah KPU berpikir, kita memperluas tafsir. Jadi tafsir larangan bagi napi paedofilia dan bandar narkoba untuk menjadi calon anggota legislatif itu kita tambah satu lagi, yaitu ditambah dari napi koruptor.

DPR menilai napi koruptor bisa menjadi caleg jika mau mempublikasikan secara luas ke masyarakat mengenai rekam jejaknya sebagai napi kasus korupsi. Tanggapan Anda?
Kalau untuk itu tetap ber­laku, tetapi itu berlaku untuk kasus lainnya. Memang maunya Komisi II DPR seperti itu, na­mun maunya KPU itu berlaku untuk pidana lainnya selain dari kasus paedofilia, bandar narkoba dan napi koruptor. Jadi selain dari tiga kasus itu, ya tetap berjalan seperti itu.

Untuk diketahui, sebelumnya itu kan kita sudah merampungkan PKPU (Peraturan KPU) tentang pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), ini kan yang masih alot itu pen­calonan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pewakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sebelumnya kan PKPU pencalo­nan DPD kan sudah rampung. Nah dalam PKPU pencalonan anggota DPD, syarat (napi ko­rupsi dilarang menjadi calon anggota) juga sudah ada, syarat bahwa napi korupsi, napi paedo­filia dan bandar narkoba itu sudah ada di PKPU untuk pencalonan DPD. Kan tidak mungkin ka­lau pencalonan DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota berbeda dengan DPD. Jadi kita memang tidak ada pilihan lain, selain melanjutkan dari hasil rapat pleno yang telah kita lakukan. ***

Populer

Fenomena Seragam Militer di Ormas

Minggu, 16 Februari 2025 | 04:50

Asian Paints Hengkang dari Indonesia dengan Kerugian Rp158 Miliar

Sabtu, 15 Februari 2025 | 09:54

PT Lumbung Kencana Sakti Diduga Tunggangi Demo Warga Kapuk Muara

Selasa, 18 Februari 2025 | 03:39

Temuan Gemah: Pengembang PIK 2 Beli Tanah Warga Jauh di Atas NJOP

Jumat, 14 Februari 2025 | 21:40

Pengiriman 13 Tabung Raksasa dari Semarang ke Banjarnegara Bikin Heboh Pengendara

Senin, 17 Februari 2025 | 06:32

Dugaan Tunggangi Aksi Warga Kapuk Muara, Mabes Polri Diminta Periksa PT Lumbung Kencana Sakti

Selasa, 18 Februari 2025 | 17:59

Makan Bergizi Gratis Ibarat Es Teh

Jumat, 14 Februari 2025 | 07:44

UPDATE

Bungkam City di Etihad, Liverpool Unggul 11 Poin dari Rival Terdekat

Senin, 24 Februari 2025 | 07:39

ADHI Laporkan Telah Gunakan Semua Dana Obligasi 2024

Senin, 24 Februari 2025 | 07:37

CDU/CSU Unggul, Friedrich Merz Calon Kanselir Jerman Selanjutnya

Senin, 24 Februari 2025 | 07:18

OJK: Perlu Upaya Sistematik dan Terkoordinasi untuk Capai Tingkat Market Share

Senin, 24 Februari 2025 | 07:00

Polisi Amankan Remaja Ugal-ugalan Bawa Senjata Tajam

Senin, 24 Februari 2025 | 06:57

20 Siswa SMP Diamankan Polisi

Senin, 24 Februari 2025 | 06:08

Dukungan untuk AHY Mengalir Deras

Senin, 24 Februari 2025 | 05:45

Balada Bayar, Bayar, Bayar

Senin, 24 Februari 2025 | 05:18

Waspada Potensi Banjir Pesisir di 17 Wilayah RI

Senin, 24 Februari 2025 | 04:41

Puncak Arus Mudik Penumpang KA Diprediksi Akhir Maret

Senin, 24 Februari 2025 | 04:30

Selengkapnya