Kalangan dewan berharap pengganti Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo mampu mampu mengambil kebijakan moneter yang sejalan dan sinergi dengan kebijakan fiskal dan sektor riil.
Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan mengatakan, hal itu bertujuan agar sasaran pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, berkeadilan dan berkedaulatan dapat tercapai.
"Karena saat ini terkesan kebijakan moneter dan fiskal serta sektor riil jalan sendiri-sendiri," jelasnya dalam perbincangan dengan Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (22/5).
Diketahui, lingkup BI ada di sektor moneter, sementara sektor fiskal ada di Kemenkeu, serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang bertanggung jawab atas sektor riil.
Menurut Heri, di samping mengkaji untuk memberikan masukan kepada DPR terkait keberadaan UU 24/1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, tugas Gubernur BI seharusnya adalah membantu kebijakan fiskal.
"Konkretnya dengan inflasi yang terkendali dari sisi moneter, kebijakan fiskal bisa lebih ekspansif. Karena belanja negara masih relatif kecil, guna mendongkrak daya beli khususnya pada sektor domestik agar ketergantungan terhadap import tidak terlalu dominan," urainya.
Heri menekankan, pada intinya kebijakan fiskal harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dan ketahanan ekonomi nasional melalui fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi.
Adapun realisasi belanja Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dalam persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sesungguhnya turun setiap tahunnya. Data yang diperoleh dari Kementerian Keuangan, pada tahun 2014, realisasi belanja APBN sebesar Rp1.777,3 triliun dengan PDB 16,8 persen; tahun 2015, realisasi belanja APBN sebesar Rp1.806,4 triliun dengan PDB sebesar 15.7 persen.
Kondisi itu terus berlanjut. Dimana pada tahun 2016 dan 2017, PDB makin anjlok dengan realisasi belanja APBN sebesar Rp1.864,3 triliun dan Rp2.004,1 triliun dengan PDB sebesar 15 dan 14,8 persen.
Heri memperkirakan, pada tahun 2018 realisasi belanja APBN sebesar Rp2.120 triliun dengan PDB 14.2 persen dan realisasi belanja APBN tahun 2019 sebesar Rp2.225 triliun dengan PDB 13.9 persen. Perkiraan penurunan PDB itu karena masih sempitnya ruang fiskal, fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi yang merupakan tiga fungsi utama fiskal tidak dapat berperan maksimal.
"Hal tersebut, mengakibatkan ruang pengalokasian anggaran sangat terbatas, ruang redistribusi pendapatan dalam mewujudkan keadilan sosial sangat sempit dan ruang untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi sangat terbatas," jelas Heri.
Lebih lanjut politisi Partai Gerindra ini menegaskan, sejak 2017, sebenarnya Indonesia sudah memasuki Krisis Fiskal.
Hal tersebut diindikasikan oleh naiknya Rasio Utang terhadap PDB yang pada tahun 2014 sebesar 24,6 persen naik 4,7 persen menjadi 29,3 persen pada akhir tahun 2017.
"Dan kami perkirakan, pada akhir tahun 2019 naik 5,4 persen menjadi 30 persen dari PDB. Sementara, penerimaan perpajakan atau tax ratio turun setiap tahun dan tahun 2017 menjadi 9,9 persen dari PDB, atau terendah dalam sepuluh tahun. Realitas tersebut, membuat Indonesia sangat tergantung pada utang," ujar Heri.
Nah, agar kebijakan fiskal dapat efektif, maka Indonesia harus keluar dari Krisis Fiskal. Caranya, meningkatkan Tax Ratio sebesar satu persen setiap tahunnya.
Untuk itu, Gubernur BI yang baru nanti haruslah bekerja keras dan dapat menjalin sinergi dengan kementerian dan lembaga terkait lainnya seperti Kemenkeu, dan OJK.
"Idealnya ada sinergi antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal, serta sektor riil agar kebijakan dapat berjalan dengan lebih baik untuk bersama membangun Indonesia Raya," tekan Heri.
Jika sinergitas kementerian dan lembaga terkait itu tak segera diperbaiki, lanjut dia, jangan heran apabila konsumsi dalam negerinya 'seret', banyak kredit macet, dollar terus merangkak hingga melampaui angka psikologis Rp14 ribu.
"Titik psikologis nembus diatas Rp14 ribu seolah angka Rp14 ribu jadi angka biasa. Padahal dalam asumsi makro APBN 2018 angkanya cuma Rp13.400. Kudu segera di sinergikan, kalau nggak bisa berabe," jelasnya.
"Dollar naik imbasnya banyak. Ke BBM ke pangan juga karena pangan banyak import. Lelang SBN sepi peminat karena suku bunga dollar naik. Kalau mau laku, mau nggak mau suku bunga SBN kudu dinaikin lagi."
[sam]