Industri kimia dalam negeri berharap pemerintah memberikan insentif. Hal ini diperlukan agar industri kimia mampu bersaing denÂgan produk impor.
Ketua Asosiasi Kimia Dasar Anorganik Indonesia Michael Susanto Pardi mengatakan, perÂlu adanya insentif dari pemerinÂtah agar ada investasi baru dan ekspansi kapasitas dari industri kimia eksisting. "Sehingga meÂmenuhi kebutuhan industri hilir seperti makanan dan minuman, tekstil, kertas, otomotif, dan lain-lain," ujarnya di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, insentif untuk industri kimia saat ini baru bisa dinikmati oleh industri kimia skala besar. DiharapÂkan ke depannya bisa lebih merata lagi.
"Industri skala menengah tidak bisa menikmati fasilitas seperti tax allowance, BMÂDTP (Bea Masuk Di TangÂgung Pemerintah)," ujarnya.
Menurut dia, industri kimia Indonesia seringkali juga terancam oleh bahan kimia impor. Khususnya dari China yang jauh lebih murah, karÂena skala ekonomi atau skala produksi industri kimia China yang jauh lebih besar.
"Industri kimia adalah indusÂtri dasar atau ibu dari semua inÂdustri hilir, sehingga kelangsunÂgan, kepastian dan kelancaran sangat penting untuk ketahanan nasional," katanya.
Apabila produksi industri kimia dalam negeri berkurang atau terganggu, maka IndoÂnesia akan tergantung keÂpada bahan baku kimia impor. Ujung-ujungnya apabila inÂdustri hilir di Indonesia tidak mendapatkan pasokan bahan baku, maka terjadi kekuranÂgan barang jadi seperti tekstil, plastik, air bersih, dan lain-lain. Selanjutnya akan terjadi perlambatan manufaktur di Indonesia.
Kementerian Perindustrian (Kemperin) mencatat, sampai kuartal I-2018 industri kimia turun 12 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dirjen Industri Kimia TekÂstil dan Aneka Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, ketergantungan industri kimia baik kimia dasar maupun petrokimia terhadap bahan baku impor menyebabkan pertumbuhan minus tersebut. "Selama ini beli pakai dolar karena impor, sementara saat ini rupiah meÂlemah jadinya ada kenaikan biaya," ujarnya.
Sigit mencontohkan, untuk industri petrokimia, sekitar 90 persen kebutuhan bahan baku industri kimia berasal dari impor. "Nilainya setiap tahun hampir Rp 20 triliun lebih (impor bahan baku)," ujar Sigit.
Oleh karena itu, KemenÂperin berusaha mendorong sektor hulu dari industri kimia ini. Seperti kawasan Bintuni, atau Nafta Cracker-nya Chandra Asri dan Lotte Chemical. ***