Mayoritas perusahaan pemÂbiayaan (multifinance) masih dalam kategori sehat, baik dari sisi aset, laba maupun risiko pinjaman. Karenanya, industri perbankan tidak perlu ragu unÂtuk menggelontorkan dananya ke multifinance.
Dari catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total 191 perusaÂhaan pembiayaan yang terdaftar, sekitar 88 persennya (78 perusaÂhaan) sehat dan 12 persen atau 22 perusahaan masuk kategori tidak sehat.
Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) II OJK Mochammad Ihsanuddin mengatakan, perusaÂhaan yang masuk kategori tidak sehat pun beragam. Ada yang kategori ringan, sedang dan berat. Dari 22 perusahaan, sekitar lima perusahaan telah dibekukan, delapan perusahaan mendapat sanksi dan sisanya, sembilan peÂrushaan, masuk kategori kurang sehat namun tetap beroperasi.
"Secara industri, perusahaan pembiayaan masih banyak yang cukup baik. Jadi jangan dilihat yang sakit saja, sehingga memberikan kekhawatiran ke masyarakat," ucap Ihsanuddin di acara paparan kinerja industri pembiayaan di Jakarta, kemarin.
Ia melanjutkan, saat ini meÂmang ada lima perusahaan yang mendapatkan surat pembatasan usaha atau pembekuan oleh OJK. Bagaimana nasibnya kemudian, kata Ihsanuddin, pihaknya masih melihat perkembangannya
"Jika berlanjut statusnya dan tidak dipenuhi syarat-syaratnya, dia bisa hilang dari peredaran atau dicabut izinnya. Atau jika mau (tetap beroperasi), dia harus memenuhi persyaratan mengeÂnai kesehatan, baik dari sisi aset, laba dan lainnya," ucap Ihsan.
Sekadar diketahui, kelima perusahaan yang usahanya yang masuk kategori pembekuan oleh OJK di antaranya PT Asia MulÂtidana, PT Kapitaling Finance, PT PAN Pembiayaan Maritim, PT Kembang 88 dan PT SNP Finance.
Ihsanuddin kemudian merinci, per Maret 2018, aset perusahaan multifinance mencapai Rp 483,9 triliun atau naik 7,65 persen secara tahunan dibanding Maret 2017 sekitar Rp 34,4 triliun. Sementara piutang pembiayaan, naik year on year (yoy) 6,08 persen. Secara nominal mencaÂpai Rp 24,4 triliun dengan nilai outstanding Rp 419,2 triliun.
"Untuk sumber pendanaan, mayoritas berasal dari pinjaÂman yang berupa pinjam luar negeri, dalam negeri dan penerÂbitan bond atau obligasi maupun Medium Term Note (MTN)," tuturnya.
Sementara, lanjut Ihsanuddin, dari sisi pertumbuhan pinjaman dalam negeri tumbuh 8,40 persen atau sebesar Rp 179,8 triliun mendominasi dengan portofolio mencapai 52,5 persen.
Pinjaman luar negeri mencaÂpai Rp 91 triliun dan penerbitan obligasi maupun MTN total Rp 71,7 triliun atau sekitar 20,9 persen dari total pinjaman.
Dari sisi laba, multifinance juga mencatat kenaikan laba di kuartal I-2018 sebesar Rp 3,74 triliun yoy atau sekitar 20,50 persen. Naiknya laba meningÂkatkan ROA (return on asset) 4,36 persen dan ROE (return on equity) 013,20 persen.
Untuk risiko pinjaman berÂmasalah (Non Performing Loan/ NPF) nett 1,17 persen dan gross 3,25 persen, atau terjadi kenaikan yoy Maret 2017 dari NPF gross 3,16 persen. "Ini memang dialami semua industri yang menyalurkan pembiayaan," klaimnya.
Ihsanuddin mengakui, dalam upaya menyehatkan perusaÂhaan pembiayaan yang sakit tidaklah mudah. Namun bukan berarti bank harus menghentikan kucuran dananya.
"Kami mendukung (penyeÂhatan) tapi jangan sampai di-stop juga (dana dari bank). Karena itu akan memberikan multieffect. Kami selalu berkoordinasi dengan pengawas perbankan. Bagaimana secara rasional mempertahan bisnis pembiayaan," ujarnya.
Ia berharap, ke depan, peÂrusahaan tersebut melakukan inisiasi perusahaan pembiayaan, agar menyampaikan laporan dan pemberitahuan dalam rencana bisnis pembiayaan.
"Misalnya, jika ingin mengeÂluarkan MTN harus melaporkan ke OJK paling lambat enam buÂlan sebelum penerbitan. Karena OJK bisa melakukan assesment, untuk mencegah perusahaan yang batuk-batuk atau tak seÂhat," terangnya.
Ketua Umum Asosiasi PerusaÂhaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno berpendapat, tindakan pembekuan perusahaan multifinance dikhawatirkan berÂdampak pada industri multifinance secara keseluruhan. ***