Berita

Haris Rusli Moti/Net

Kerusakan Ekosistem Negara Menghancurkan Mentalitas Dan Karakter Bangsa

SENIN, 23 APRIL 2018 | 14:34 WIB | OLEH: HARIS RUSLY MOTI

EKOSISTEM bernegara yang rusak telah bekerja secara otomatis meruntuhkan nilai dan norma, menyerang jiwa dan merusak karakter bangsa kita.

Persis seperti disampaikan Emha Ainun Nadjib dalam acara peringatan Malari 2018 di UGM, “manusia merusak sistemnya, sistem merusak manusianya”.

Sama halnya seperti dampak negatif dari keserakahan minoritas orang yang merusak ekosistem lingkungan hidup. Dapat ditebak akibatnya, bencana alam setiap saat datang menyerang dan merongrong kehidupan kita.

Ketika datang musim hujan, kita diserang bencana banjir dan longsor. Pada saat berganti ke musim panas, kita dihantui bencana kekeringan dan kebakaran lahan. Nyaris tak ada musim yang menghadirkan ketenangan dan keharmonisan hubungan kita dengan lingkungan alam.

Demikian juga dengan lingkungan sosial, akibat dirusaknya ekosistem bernegara, nyaris tak ada jeda yang menghadirkan kedamaian dan ketenangan pada bangsa kita.

Krisis, konflik, kekacauan dan kriminalitas dalam berbagai wujud dan bentuk datang silih berganti merongrong dan menghantui kehidupan bangsa kita.

Akumulasi Krisis Kenegaraan


Jika kita bicara tentang negara, maka kita akan berbicara tentang aspek yang bersifat lahiriah, seperti konstitusi, hukum, politik, ekonomi, sosial, pertahanan, keamanan, dan lain sebagainya.

Berbeda jika kita berbicara tentang peradaban bangsa, maka kita akan berbicara tentang aspek “batiniah” yang membentuk dan melandasi peradaban bangsa tersebut, seperti nilai-nilai dasar, cita-cita luhur, mentalitas dan karakter bangsa.

Karena itu, krisis peradaban bangsa berbeda dengan krisis kenegaraan. Krisis kenegaraan adalah “krisis yang bersifat lahiriah”. Krisis yang menyerang tatanan lahiriah yang menjadi tubuh dan pilar dari sebuah negara.

Salah satu contoh dari krisis kenegaraan adalah terjadinya kekacauan sistem negara era reformasi, yang ditandai oleh di antaranya:

Pertama, terjadi tumpang tindih fungsi dan kewenangan antara institusi negara. Kedua, terjadinya tumpang tindih aturan di dalam berbagai produk hukum dan perundang-undangan.

Keadaan seperti itu terjadi lantaran di era reformasi sangat menonjol semangat untuk membangun institusi negara, semangat untuk men-top up kewenangan dari masing-masing institusi negara. Tapi tak ada kemampuan untuk menata negara, menata kewenangan dan fungsi dari setiap institusi negara.

Akibatnya terjadi krisis kenegaraan  yang menimbulkan benturan secara terus menerus, baik benturan antara institusi negara, maupun benturan antara kelompok dan golongan di dalam masyarakat.

Jika diurut ke belakang, krisis kenegaraan tersebut berakar dan bersumber dari dirusaknya konstitusi negara melalui amandemen terhadap UUD 1945. Amandemen tersebut ditengarai dikendalikan oleh asing, sehingga tidak mempertimbangkan analisa mengenai sejarah dan lingkungan sosial bangsa Indonesia.

Padahal, konsititusi negara dapat dikatakatan sebagai sebuah rakayasa terhadap ekosistem politik untuk membangun kehidupan bernegara yang lebih baik.

Jika rekayasa ekosistem negara tersebut bertentangan dengan ekosistem sosial budaya yang hidup di tengah masyarakat, maka akibatnya dapat terjadi kerusakan lingkungan sosial yang menimbulkan kontraksi.

Ketika ekosistem bernegara itu dirusak dan tak teratasi, maka akan terjadi akumulasi dan penumpukan krisis yang kemudian membentuk krisis yang lebih dalam, lebih kronis.

Krisis Peradaban Bangsa

Akumulasi krisis itu kemudian menciptakan mutasi dari krisis kenegaran menjadi krisis peradaban bangsa. Berbeda dengan krisis kenegaraan, krisis peradaban bangsa, dapat dikatakan sebagai “krisis batiniah”.

Krisis peradaban bangsa dapat dikatakan sebagai akumulasi dan komplikasi dari krisis kenegaraan yang berjalan serempak dengan krisis peradaban bangsa.

Krisis peradaban bangsa adalah krisis yang meruntuhkan nilai-nilai dasar dan norma yang menjadi landasan dan perekat yang membentuk sebuah bangsa.

Jika di dalam krisis kenegaraan, kesehatan dari ekosistem negara nya yang rusak. Maka di dalam krisis peradaban bangsa, kerusakan ekosistem itu kemudian menghancurkan kembali nilai-nilai dasar, karakter, mental dan akhlak manusianya.

Karakter bangsa mundur menjadi berkarakter inlander, mentalitas bangsa mengalami kemunduran menjadi mentalitas maling dan khianat. Demikian juga nilai dan norma yang melandasi kehidupan berbangsa dan bernegara juga musnah ditelah oleh kepentingan politik praktis.

Ciri lain dari krisis peradaban bangsa adalah ketika nilai-nilai persatuan dan kebersamaan runtuh di dalam kehidupan bangsa. Kehidupan sosial bangsa kita kemudian retak dan berubah menjadi mementingkan kepentingan individu dan kelompok (agama, suku dan parpol).

Jika dicermati keadaan membusuknya peradaban bangsa kita saat ini dapat diibaratkan seperti kehidupan belatung dan ekosistem nya.

Belatung, sejenis lalat pemakan bangkai tercipta dari bangkai dan hanya bisa hidup dari ekosistem bangkai yang membusuk. Tanpa adanya bangkai yang busuk dan menebar bau busuk, tak akan ada belatung. [***]

Penulis adalah Eksponen Gerakan Mahasiswa 1998 dan Kepala Pusat Pengkajian Nusantara Pasifik (PPNP)

Populer

KPK Kembali Periksa Pramugari Jet Pribadi

Jumat, 28 Februari 2025 | 14:59

Sesuai Perintah Prabowo, KPK Harus Usut Mafia Bawang Putih

Minggu, 02 Maret 2025 | 17:41

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Lolos Seleksi TNI AD Secara Gratis, Puluhan Warga Datangi Kodim Banjarnegara

Minggu, 02 Maret 2025 | 05:18

CMNP Minta Pengadilan Sita Jaminan Harta Hary Tanoe

Selasa, 04 Maret 2025 | 03:55

Nyanyian Riza Chalid Penting Mengungkap Pejabat Serakah

Minggu, 09 Maret 2025 | 20:58

Polda Metro Didesak Segera Periksa Pemilik MNC Asia Holding Hary Tanoe

Minggu, 09 Maret 2025 | 18:30

UPDATE

Sinergi Infrastruktur dan Pertahanan Kunci Stabilitas Nasional

Senin, 10 Maret 2025 | 21:36

Indonesia-Vietnam Naikkan Level Hubungan ke Kemitraan Strategis Komprehensif

Senin, 10 Maret 2025 | 21:22

Mendagri Tekan Anggaran PSU Pilkada di Bawah Rp1 Triliun

Senin, 10 Maret 2025 | 21:02

Puji Panglima, Faizal Assegaf: Dikotomi Sipil-Militer Memang Selalu Picu Ketegangan

Senin, 10 Maret 2025 | 20:55

53 Sekolah Rakyat Dibangun, Pemerintah Matangkan Infrastruktur dan Kurikulum

Senin, 10 Maret 2025 | 20:48

PEPABRI Jamin Revisi UU TNI Tak Hidupkan Dwifungsi ABRI

Senin, 10 Maret 2025 | 20:45

Panglima TNI Tegaskan Prajurit Aktif di Jabatan Sipil Harus Mundur atau Pensiun

Senin, 10 Maret 2025 | 20:24

Kopdes Merah Putih Siap Berantas Kemiskinan Ekstrem

Senin, 10 Maret 2025 | 20:19

Menag Masih Pelajari Kasus Pelarangan Ibadah di Bandung

Senin, 10 Maret 2025 | 20:00

Airlangga dan Sekjen Partai Komunis Vietnam Hadiri High-Level Business Dialogue di Jakarta

Senin, 10 Maret 2025 | 19:59

Selengkapnya