Berita

Nasaruddin Umar/Net

Mengenal Inklusi Visme Islam Indonesia (66)

Persamaan Sejarah

SELASA, 10 APRIL 2018 | 10:29 WIB | OLEH: NASARUDDIN UMAR

SIKAP inklusif keagamaan di Indonesia sangat dipengaruhi juga oleh kesadaran historis atau kesamaan sejarah, yakni sama-sama sebagai warga bangsa yang pernah hidup di dalam kolonialisme negara asing selama berabad-abad. Rasa senasib sepenanggun­gan ini melekat ke dalam alam bawah sadar segenap warga bangsa. Meskipun berbeda agama dan etnik tetapi sama-sama merasakan kesusahan hidup di bawah penjajahan asing. Mereka berjuang bersama, bahu membahu memperjuangkan kemerdekaan. Mereka sama-sama berkorban untuk meraih kemerdekaan itu dan pada akhirnya mereka menggapainya.

Kemerdekaan adalah pintu gerbang menuju kehidupan yang lebih layak. Komitmen putra-putri bangsa Indonesia dari Sabang sampai Marauke untuk bersatu melawan penjajahan diwujudkan dalam bentuk Sumpah Pemuda. "Kami putra-putri bangsa Indonesia berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kami putra-putri Indonesia bertanah air satu, tanah air Indonesia. Kami putra-putri Indonesia berbahasa satu, Bahasa Indonesia". Kalimat-kalimat ini tampil bagaikan mukjizat yang menggalang kesatuan dan persatuan segenap warga bangsa di dalam menghadapi penjajah. Puncaknya tercapai pada tanggal 17 Agustus 1945, bertepatan umat Islam sedang menjalani bulan suci Ramadhan. Kemerdekaan Indonesia dideklarasikan bertepatan hari Jum’at pagi. Hari ini betul-betul hari dan bulan yang penuh berkah bagi segenap warga bangsa Indonesia.

Setelah kemerdekaan Indonesia dideklarasi­kan, segalanya menjadi mudah diselesaikan. Termasuk merumuskan prinsip-prinsip dasar bernegara. Meskipun Indonesia dihuni oleh may­oritas umat Islam tetapi mereka tidak mau hidup egois, karena mereka sadar bahwa kemerdekaan Indonesia diraih secara bersama oleh seluruh rakyat Indonesia. Seluruh etnik dan kelompok agama sama-sama merasakan dampak penjaja­han sekaligus sama-sama berjuang mempertah­ankan kemerdekaan yang telah diraihnya.


Inklusifisme Islam Indonesia terjadi sejak awal, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka sudah terjadi kebersamaan antara satu sama lain se­bagai sama-sama warga bangsa yang mendiami suatu negeri yang majemuk. Toleransi dan teng­gang rasa antarsesama sesungguhnya terjadi jau sebelum Indonesia merdeka. Dalam zaman kerajaan-kerajaan lokal masyarakat nusantara sudah mengenal dan bahkan sudah bersikap inklusif. Budaya masyarakat maritim lebih me­nekankan aspek titik temu (sentripetal) daripada perbedaan (sentrifugal). Kita beruntung menjadi bangsa yang berbudaya maritim. Bandingkan orang-orang yang hidup di dalam masyarakat daratan (continental) yang sarat dengan struktur dan tingkatan-tingkatan masyarakat (social strati­fications), dan selalu dibayangi dengan perang antar suku. Lebih bersyukur kita dengan Islam yang dikembangkan di kepulauan Nusantara ialah Islam yang bercorak sunny, khsusnya mazxhab Syafi'. Mazhab ini lebih cocok dengan masyarakat agraris seperti di Indonesia.

Di dalam masyarakat agraris ciri khas sistem kekerabatannya ialah dominan sistem patriarki yang memberikan peran besar terhadap kaum laki-laki. Ciri khas lainnya ialah paternalistik, yakni apa kata raja atau pimpinannya itu kata rakyatnya. Dengan demikian figur-figur sentral ini sangat menentukan di dalam masyarakat. Inilah yang pernah dimanfaatkan pemerintah Hindia Belanda di bawah arsitektur politiknya, Prof. Snouck Hurgronje, pernah mengga­gas sebuah gagasan cerdas: "Masyarakat Nusantara tidak perlu terlalu repot mengurusnya karena apa kata laki-laki itu kata perempuan dan apa kata raja itu kata rakyatnya. Cukup menguasai kaum laki-laki otomatis perempaun dikuasai dan cukup menguasai raja atau sultan otomatis rakyatnya dikuasai". Untuk memeli­hara kemerdekaan dan NKRI kita perlu belajar pada masa lampau, kita tidak boleh jatuh di lubang yang sama seperti keledai.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

Pesawat Perintis Bawa BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:02

UPDATE

Denny Indrayana Ingatkan Konsekuensi Putusan MKMK dalam Kasus Arsul Sani

Selasa, 16 Desember 2025 | 01:30

HAPPI Dorong Regulasi Sempadan Pantai Naik Jadi PP

Selasa, 16 Desember 2025 | 01:22

Pembentukan Raperda Penyelenggaraan Pasar Libatkan Masyarakat

Selasa, 16 Desember 2025 | 01:04

Ijazah Asli Jokowi Sama seperti Postingan Dian Sandi

Selasa, 16 Desember 2025 | 00:38

Inovasi Jadi Kunci Hadapi Masalah Narkoba

Selasa, 16 Desember 2025 | 00:12

DPR: Jangan Kasih Ruang Pelaku Ujaran Kebencian!

Selasa, 16 Desember 2025 | 00:06

Korban Meninggal Banjir Sumatera Jadi 1.030 Jiwa, 206 Hilang

Senin, 15 Desember 2025 | 23:34

Bencana Sumatera, Telaah Konstitusi dan Sustainability

Senin, 15 Desember 2025 | 23:34

PB HMI Tegaskan Putusan PTUN terkait Suhartoyo Wajib Ditaati

Senin, 15 Desember 2025 | 23:10

Yaqut Cholil Masih Saja Diagendakan Diperiksa KPK

Senin, 15 Desember 2025 | 23:07

Selengkapnya