Pengusaha menyambut baik langkah pemerintah menunda pemberlakuan wajib penggunaan kapal lokal untuk kegiatan ekspor impor. Pasalnya, industri pelayaran dalam negeri belum siap. Jika dipaksakan, ditakutkan malah akan mengganggu kegiatan ekspor impor.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit IndoneÂsia (Gapki) Danang GirindawarÂdana menilai keputusan pemerinÂtah menunda pemberlakuan wajib pakai kapal lokal untuk kegiatan ekspor impor sangat tepat. "Kita terima kasih kepada pemerintah karena memahami kecemasan industri yang bergerak di koÂmoditas," ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurut dia, berdasarkan hasil pertemuan dengan stakeÂholder lain, seperti Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Indonesian National ShipownÂers' Association (INSA) diketaÂhui, ketersedian kapal berbendÂera Indonesia untuk mengangkut Crude Palm Oil (CPO) dan tambang tidak cukup.
"Kita tidak boleh memaksaÂkan kebijakan jika infrastruktur yang belum siap," ujarnya.
Dengan penundaan dua tahun, kata dia, pemerintah harus memÂberikan insentif kepada pengusaÂha pelayaran agar bisa mengemÂbangkan bisnisnya. Sehingga pas mulai, sambungnya, industrinya sudah siap. "Dua tahun cukup untuk mengembangkan industri pelayaran," katanya.
Danang memahami alasan pemerintah yang ingin mewaÂjibkan penggunaan kapal lokal untuk kegiatan ekspor impor. Namun, jangan sampai hanya ingin membangkitkan industri pelayaran, industri yang sudah bangkit malah hancur.
Hal senada dikatakan Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) HenÂdra Sinadia. Keputusan pemerintah membuat pengusaha lega. PasalÂnya, kebijakan tersebut sempat membuat pengusaha gelisah.
"Kebijakan itu dikhawatirkan akan mengganggu kegiatan ekÂspor impor karena pasokannya minim," ujarnya kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurut dia, berdasarkan data sementara Kementerian PerdaganÂgan (Kemendag) hanya dua persen kapal nasional yang mampu meÂlayani ekspor batu bara.
"Mungkin sekitar dua persen lah karena data belum semua masuk, kapal nasional saja. Kebanyakan, 80 persen itu benÂtuknya tongkang," katanya.
Hendra sebelumnya juga menÂgatakan, saat ini beberapa perusaÂhaan batu bara pun menahan konÂtrak ekspornya untuk menunggu kepastian dari penerapan aturan tersebut. "Saya belum tahu berapa kontrak yang di-hold, tapi kita banyak terima pertanyaan lapoÂran dari buyer (pembeli) kapan kepastiannya. Kita juga enggak berani kalau belum ada legalnya," ungkap Hendra.
Sebelumnya, Menteri PerÂindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, kewajiban pengÂgunaan kapal nasional dalam kegiatan ekspor dan impor seÂluruh komoditas ditunda selama dua tahun sejak aturan tersebut diberlakukan. Keputusan itu diambil agar industri perkapalan bisa melakukan persiapan.
"Jadi diberi periode khusus untuk perkapalan dua tahun sejak Permendag (Peraturan Menteri Perdagangan). Tapi untuk yang asuransinya akan diberlakukan, dan diberi tolÂeransi tambahan selama tiga bulan," katanya.
Sekadar informasi, Permendag 82 Tahun 2017 tentang KetenÂtuan Penggunaan Angkutan Laut dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang TerÂtentu mewajibkan penggunaan kapal nasional dalam kegiatan ekspor maupun impor seluruh komoditas. Penggunaan kapal nasional wajib untuk ekspor minyak kelapa sawit CPO, batu bara, dan impor beras.
Airlangga berharap, perpanÂjangan waktu yang diberikan dapat digunakan industri perkaÂpalan untuk melakukan penyeÂsuaian dan persiapan. PemerinÂtah akan mendorong eksportir agar bisa mengubah kontrak dari skema
Free On Board (FOB) menjadi skema
Cost, Insurance, and Freight (CIF) atau
Cost and Freight (CNF).
Dia juga menjelaskan, pentÂingnya perubahan kontrak untuk meningkatkan devisa negara. Pasalnya, kontrak dengan skema FOB justru akan memanfaatkan jasa angkutan milik negara lain. Skema itu dinilai akan mengunÂtungkan pihak pembeli dalam konteks ekspor karena mereka bebas menentukan kapal yang diÂgunakan untuk mengirim. ***