Sepanjang tahun lalu, pertumbuhan kredit properti masih kurang bergairah. Padahal, Bank Indonesia (BI) mengaku telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan hal tersebut.
Diakui Deputi Gubernur SeÂnior BI Mirza Adityaswara, Bank Sentral telah mengeluarkan berÂbagai kebijakan guna mendorong kredit di sektor properti maupun Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Mulai dari pelonggaran uang muka alias Down Payment (DP) KPR atau loan to value (LTV) hingga mengubah model sistem Giro Wajib Minimum rata-rata (GWM Averaging ) bagi perÂbankan.
Saat ini tercatat pelonggaran LTV di kisaran 85 persen, jadi uang muka yang dibebankan keÂpada peminjam adalah 15 untuk kredit kepemilikan rumah bagi rumah pertama, 20 persen untuk rumah kedua, dan 25 persen untuk rumah ketiga.
"BI kan sudah ada pelongÂgaran LTV, DP rumah jadi lebih ringan. Tapi bank-bank itu yang belum banyak memanfaatkan pelonggaran tersebut. Jadi kalau bank-bank bisa memanfaatkanÂnya, tentu akan lebih baik dari sisi suplai kredit. Bahkan bisa mendorong kredit properti dan KPR lebih tinggi lagi," kata MirÂza usai memberikan sambutan di acara Seminar Perkembangan Sektor Properti di Triwulan I 2018, Jakarta, kemarin.
Namun bagi Mirza, ketidakseÂriusan bank dalam memanfaatÂkan kelonggaran tersebut dinilai wajar. Sebab, masing-masing bank punya kebijakan sendiri, bagaimana mereka melihat beÂberapa sisi, misalnya rasio kredit macet dan lainnya.
"BI pun melihat ke siklus ekonomi kita. Di mana siklus ekonomi yang saat tengah
reÂcover (perbaikan) dan berlanjut. Jadi kami sih mendorong perÂbankan supaya lebih optimistis dan berani manfaatkan pelongÂgaran LTV yang diberikan," ucapnya.
Dari data BI saja, sektor real estate hanya tumbuh 5,67 persen dari sebelumnya 22,22 persen. Sedangkan KPR tumbuh 10,53 persen. Sementara penyaluran kredit ke sektor konstruksi hanya tumbuh 15 persen.
Saat ditanya apakah ada keÂmungkinan untuk pelonggaran kembali LTV, Mirza bilang, hingga saat ini BI telah melakuÂkan penurunan suku bunga seÂbanyak delapan kali atau sekitar 200 basis poin (bps). Sehingga upaya BI untuk mengakomodir kebutuhan perbankan maupun sektor riil dalam mendorong perÂtumbuhan, sudah sudah cukup.
"Cukuplah (penurunan suku bunga). LTV sudah dua kali turun dan metode GWM pun sudah diubah guna menambah likuiditas perbankan. Sekarang tinggal bank harus optimis supÂplai kredit, dengan memanfaatÂkan LTV dan teman-teman di sektor riil harus optimis untuk mewujudkannya," yakin Mirza.
Butuh Data REI Salah satu kebijakan pendorÂong kredit properti dan KPR yang belum diluncurkan adalah wacana kebijakan spasial.
"LTV spasial itu karena meÂmang kondisi di daerah yang berbeda-beda. Untuk merumusÂkan hal tersebut, makanya dibuÂtuhkan data dan informasi yang akurat. Kita butuh juga kerja sama dengan REI sebagai pelaku di industri ini, melalui data yang akurat yang ada di REI (Real EsÂtate Indonesia)," jelas Mirza.
Mirza bilang, dengan informasi yang lebih menyeluruh baik dari sisi pelaku industri properti, konsumen maupun perbankan, diharapkan kebijakan yang ditetapkan oleh Bank Sentral dapat memberikan manfaat yang optimal bagi kinerja properti yang lebih sehat dan kuat. Yaitu, akselÂerasi pertumbuhan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian bagi lembaga keuangan penyalur pembiayaan.
"Pertukaran data dan atau inforÂmasi, khususnya di sektor propÂerti, diharapkan dapat terlaksana dengan optimal dan dapat menunÂjang pelaksanaan tugas masing-masing lembaga," ujarnya.
Selain pertukaran data dan informasi, kerja sama ini juga mencakup pengembangan komÂpetensi sumber daya manusia melalui focus group discussion, penelitian bersama, seminar, dan sosialisasi, serta kerja sama lainÂnya yang disepakati BI dan REI.
Di acara yang sama, Ketua Umum DPP REI Soelaeman Soemawinata mengatakan, sekÂtor properti masih memerlukan dorongan untuk bisa kembali pulih. Misalnya, kebijakan LTV spasial sesuai permintaan di daerah bisa mendorong ekspansi properti mengingat pertumbuÂhan ekonomi masing-masing regional berbeda.
"Namun, kebijakan di sektor properti tidak akan mumpuni tanpa disertai data. Karenanya, REI berkomitmen untuk memÂbantu Bank Sentral," kata pria yang akrab disapa Eman ini.
Meski begitu, kata Eman, tahun ini para pelaku industri properti lebih optimistis. BerÂdasarkan informasi yang diteriÂmanya, 10 perusahaan properti besar di Indonesia berani meÂmasang target akumulasi omzet hingga Rp 40 triliun di 2017 dan lebih tinggi dari 2016 yang hanya berkisar Rp 32 triliun.
"Kami memperkirakan perÂtumbuhan sektor properti tahun ini berpotensi mencapai dua digit. Terlebih, pemerintah juga berkomitmen mempermudah perizinan. Sektor yang diyakini bakal menggeliat adalah sektor residensial kelas menengah," tuturnya. ***