Berita

Joko Widodo/Net

"Angin Surga" Jokowi Ciptakan "Neraka Politik"?

KAMIS, 29 MARET 2018 | 11:36 WIB | OLEH: DEREK MANANGKA

KETIKA meresmikan pengoperasian kereta api Bandara Soekarno-Hatta beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo secara khusus mengundang Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB, ikut serta dalam seremoni tersebut.

Keikutsertaan Bekas Menteri Tenaga Kerja di era Presiden SBY ini, serta merta menimbulkan berbagai spekulasi, gunjingan dan pertanyaan. Karena dari sudut pandang manapun, tidak bisa terlihat adanya relevansi dan korelasi Muhaimin dan proyek kereta api tersebut.

Sedangkan Presiden Jokowi dalam acara itu secara demonstratif memperlihatkan sikapnya yang memberi kesan, Muhaimin merupakan seorang tamu khususnya yang terpenting saat itu. Muhaimin juga disinyalkannya sebagai sahabat politiknya yang dekat.

Padahal kedekatan Jokowi dengan Muhaimin, tidak sekental seperti yang dikesankan. Kedekatannya dengan Muhaimin tidak sama misalnya dengan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh.

Belakangan, (mulai) terungkap Presiden Joko Widodo yang berkeinginan terpilih kembali dalam Pilpres 2019, memberi "angin surga" kepada politisi PKB tersebut.

Konkritnya Muhaimin mau diajak menjadi calon wakil presidennya, di Pilpres 2019.

Terungkapnya rahasia isi “angin surga” ini terlihat dari reaksi Muhaimin Iskandar sediri.

Muhaimin yang seperti merasa berada “di atas angin”, mendadak sontak melakukan nyekar ke kuburan Taufiq Kiemas, arsitek politik PDIP.

Selain sebelum nyekar, konon di Jawa Tengah yang merupakan basis PDIP Muhaiman tiba-tiba membanjiri poster-poster dan baliho tentang dirinya di kawasan tersebut.

Mengindikasikan Muhaimin memang sudah siap menjadi pendamping Jokowi di Pilpres 2019.

Para politisi yang waras, tentu saja “menertawakan” cara Muhaimin merespon “angin surga” yang ditiupkan Jokowi. Sekaligus menggeleng-gelengkan kepala atas cara Jokowi melakukan manuver politik.

Muhaimin “ditertawakan” karena meminta restu kepada tokoh yang sudah tidak bernyawa.

Sementara yang geleng-geleng kepala menganggap, cara Jokowi bermanuver terlalu mudah dibaca. Tetapi Jokowi tidak merasakannya. Dia mungkin menganggap, rakyat belum cukup cerdas.

Jokowi bahkan mungkin merasa, sebagai Presiden, dia sudah menjadi seorang ahli politik yang mampu memainkan dan mempermainkan para elit politik.

Jokowi sudah menjadi penguasa panggung Indonesia.

“Penertawaan” terhadap Muhaimin, semakin kencang. Karena di waktu yng hampir bersamaan, Presiden Jokowi menerima Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto di Istana Bogor.

Muhaimin "ditertawakan", sebab dia sebetulnya sudah kena "jebakan politik" oleh pancingan Jokowi.

Mengingat yang diberi “angin surga” dan yang lebih kencang, justru Airlangga Hartarto.

Pasalnya ketika Jokowi menerima Airlangga, Jokowi lebih banyak mengirim sinyal yang lebih jelas dan keberpihakannya kepada Golkar.

Jokowi dalam pertemuan dengan petinggi Golkar itu, mengenakan kaos warna kuning, sementara pada momen tersendiri Jokowi mengajak Airlangga membahas soal sepeda motornya yang berwarna kuning keemasan.

Kuning merupakan warna khas Partai Golkar.

Sinyal yang dikirim Jokowi, seolah-olah ia lebih Golkar ketimbang Ketum Golkar.

Apalagi Ketum Golkar saat itu hanya mengenakan kaos polos berwarna putih.

Di tengah bertiupnya “angin surga” ini, secara kebetulan Setya Novanto membuat pernyataan yang mengejutkan.

Setnov yang mantan Ketum Golkar mengungkapkan bahwa dia mendengar anak buahnya ikut memberikan uang dari proyek e-KTP kepada dua politisi PDIP masing-masing sebesar USD 500,- ribu.

Keduanya adalah Puan Maharani dan Pramono Anung yang notabene saat ini masih menjadi anggota kabinet Presiden Joko Widodo.

Pernyataan Setnov langsung direspon oleh pegiat anti-korupsi.

Dengan cara mendatangi kantor KPK sekaligus mendesak agar lembaga yang diresmikan Presiden Megawati pada tahun 2002 itu harus menangkap Puan dan Pramono.

Yang cukup menarik, Jokowi sebagai kader PDIP tidak melakukan respon secara terbuka maupun implisit terhadap tudingan Setnov ini.

Hal mana menimbulkan spekulasi baru bahwa Jokowi memang tidak memiliki kedekatan emosional dengan Puan dan Pramono apalagi dengan PDIP.

Bahkan politik mereka secara kimiawi, tidak bisa bersenyawa.

Jokowi lebih merasa nyaman dengan Golkar kendati keberhasilannya menjadi Presiden menggunakan kendaraan politik PDIP.

Jokowi adalah politisi PDIP yang berasa Golkar.

Jika analisa dan perkiraan ini tepat atau mendekati kebenaran, PDIP pasti tidak nyaman dengan sikap Presiden yang bekas Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta ini.

Jokowi sebetulnya sama saja dengan menciptakan “neraka politik” bagi PDIP.

Walaupun “neraka politik” itu sendiri bisa diisi oleh Jokowi sendiri.

Sebab di luar persoalan cawapresnya, Jokowi juga tetap keukeuh dengan programnya membagikan sertifikat tanah secara gratis dan massal.

Jokowi mengabaikan kritikan. Terutama yang asalnya dari Amien Rais bahwa pemberian sertifikat itu, merupakan sebuah pembohongan.

Sebetulnya kritikan Amien Rais, bukan tanpa alasan.

Sekalipun tidak dinyatakan secara eksplisit Amien Rais sebetulnya sedang merujuk pada pengalaman sebelumnya.

Dimana sebagai Presiden, Jokowi mengaku telah menandatangani dokumen, tanpa membaca apa isinya.

Maksudnya untuk sebuah dokumen saja, Presiden tidak ada waktu membaca isinya. Bagaimana dengan waktu yang harus dia alokasikan untuk memeriksa ribuan ataupun jutaan sertifikat?

Jangan-jangan Jokowi kembali ditertawakan oleh media asing yang memparodikannya begini: “I signed but I didn’t read…” (Saya tandatanganinya, tapi saya tidak baca apa isinya….).

Jadi Amien Rais tidak sepenuhnya salah. Yang membuat kritikan Amien Rais lemah, karena caranya. Cara Amien Rais mengeritik Jokowi tidak menggunakan frasa intelektual. Gelar intelektual Amien Rais sebagai sarjana politik lulusan Amerika dan Tokoh Reformasi 1998, tergerus total karena faktor kosa kata.

Amien - jika sudah menyangkut persoalan yang berseberangan dengannya, menjadi sosok yang miskin kata-kata atau frasa yang santun.

Selain itu Amien Rais juga mungkin telah berhitung. Bahwa Jokowi sebetulnya sedang bermain angka dalam politik praktis.

Jika 7 juta penerima sertifikat tanah itu - separuhnya saja yang memilih Jokowi di Pilpres 2019 - dengan asumsi setiap satu sertifikat bernilai satu keluarga dengan jumlah 5 orang, itu berarti sudah ada jaminan 17,5 juta suara.

Bagaimana kalau ke-7 juta itu menjadi pemilih dan semuanya memilih Jokowi?

Tentu saja dari program sertifikat tanah ini, Jokowi sebagai capres, sudah berhasil mengamankan 35 juta suara. Sebuah angka yang fantastis.

Sehingga tidak heran bila Jokowi terus memberi “angin surga” tapi pada sisi lain juga menciptakan “neraka politik”.

Dalam perkembangannya, Jokowi berubah. Semakin dekat hari pemilihan Presiden, semakin terlihat sosok aslinya. Bahwa Jokowi sebetulnya bukan tokoh yang suka menerima masukan.

Jokowi sudah menjadi orang yang imun atas kritikan. Semakin kencang kritikan kepadanya, semakin kuat dia melawannya.
Ketika pengeritik memintanya agar perlu berjalan ke kiri, yang dia lakukan adalah mengambil arah menuju ke kanan.

Demikian seterusnya.

Jokowi sepertinya sedang melakukan anti-thesis.

Apa yang dilakukannya dalam soal cawapres dan pembagian sertifikat tanah secara gratis, bisa dibilang bukti dari kebijakan anti-thesis.

Kalau memungkinkan, semua Ketum parpol, diberi “angin surga”, berpeluang menjadi cawapresnya.

Bahwasanya “angin surga” itu hanya bagian dari PHP (Pemberi Harapan Palsu), lalu justru berubah menjadi “neraka politik”, soalnya belakangan.

Sebagai Kepala Pemerintahan Jokowi memiliki hak prerogatif - mau memberi “angin surga” atau menciptakan “neraka politik”.

Kalau sudah begitu, rakyat mau bilang apa? EGP (Emangnya Gue Pikirin). [***]

Penulis adalah wartawan senior

Populer

Besar Kemungkinan Bahlil Diperintah Jokowi Larang Pengecer Jual LPG 3 Kg

Selasa, 04 Februari 2025 | 15:41

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Prabowo Harus Pecat Bahlil Imbas Bikin Gaduh LPG 3 Kg

Senin, 03 Februari 2025 | 15:45

Bahlil Gembosi Wibawa Prabowo Lewat Kebijakan LPG

Senin, 03 Februari 2025 | 13:49

Jokowi Kena Karma Mengolok-olok SBY-Hambalang

Jumat, 07 Februari 2025 | 16:45

Pengamat: Bahlil Sengaja Bikin Skenario agar Rakyat Benci Prabowo

Selasa, 04 Februari 2025 | 14:20

Alfiansyah Komeng Harus Dipecat

Jumat, 07 Februari 2025 | 18:05

UPDATE

Dirjen Anggaran Kemenkeu Jadi Tersangka, Kejagung Didesak Periksa Tan Kian

Sabtu, 08 Februari 2025 | 21:31

Kawal Kesejahteraan Rakyat, AHY Pede Demokrat Bangkit di 2029

Sabtu, 08 Februari 2025 | 20:55

Rocky Gerung: Bahlil Bisa Bikin Kabinet Prabowo Pecah

Sabtu, 08 Februari 2025 | 20:53

Era Jokowi Meninggalkan Warisan Utang dan Persoalan Hukum

Sabtu, 08 Februari 2025 | 20:01

Tepis Dasco, Bahlil Klaim Satu Frame dengan Prabowo soal LPG 3 Kg

Sabtu, 08 Februari 2025 | 19:50

Dominus Litis Revisi UU Kejaksaan, Bisa Rugikan Hak Korban dan tersangka

Sabtu, 08 Februari 2025 | 19:28

Tarik Tunai Pakai EDC BCA Resmi Kena Biaya Admin Rp4 Ribu

Sabtu, 08 Februari 2025 | 19:16

Ekspor Perdana, Pertamina Bawa UMKM Tempe Sukabumi Mendunia

Sabtu, 08 Februari 2025 | 18:41

TNI AL Bersama Tim Gabungan Temukan Jenazah Jurnalis Sahril Helmi

Sabtu, 08 Februari 2025 | 18:22

Penasehat Hukum Ungkap Dugaan KPK Langgar Hukum di Balik Status Tersangka Sekjen PDIP

Sabtu, 08 Februari 2025 | 17:42

Selengkapnya