Nasaruddin Umar/Net
Nasaruddin Umar/Net
INKLUSIFISME Islam Indonesia dipengaruhi oleh ajaran agama yang sufistik, yaitu ajaran yang lebih mengedepankan aspek hakekat dan substansi ajaran daripada ajaran legal-forÂmal. Sebelum Islam datang, negeri ini sudah dihuni oleh agama dan kepercayaan yang cenderung sufistik, seperti agama Hindu-Budha, animisme, inamisme, dan agama dan kepercayaan leluhur Jawa (kejawen). Dalam ajaran agama dan kepercayaan tersebut lebih menekankan aspek kemanusiaan (humanity) seseorang. Orang bisa saja memiliki agama dan kepercayaan yang berbeda-beda tetapi tetap sebagai manusia yang harus dihargai. Nilai keÂmanusiaan lebih tinggi daripada nilai-nilai soÂsial budaya, bahkan termasuk nilai agama dan kepercayaan. Perbedaan etnik, suku, agama, dan kepercayaan tidak boleh mengorbankan rasa kemanusiaan.
Dalam kondisi batin seperti ini Islam lebih muÂdah mengadaptasikan diri, karena esensi Islam sebagai agama sesungguhnya juga untuk lebÂih memanusiakan manusia. Dengan kata lain, Islam adalah agama kemanusiaan. Tidak bisa atas nama ajaran agama mengorbankan rasa kemanusiaan. Jika dalam perjalanan hidup ada pandangan kemanusiaan yang tidak sejalan dengan doktrin agama (Islam) maka diselesaiÂkan dengan dakwah, bukan langsung diseleÂsaikan dengan peperangan atau kekerasan. Ini sejalan dengan ayat: Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, (Q.S. al-Qashash/28:56). Dalam mengajak orang menganut Islam yang benar tidak dibeÂnarkan menggunakan kekerasan, apapun benÂtuk kekerasan itu, sebagaimana ditegaskan daÂlam ayat: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (Q.S. al-Baqarah/2:256). Di dalam mengajak orang mengikuti agama IsÂlam, dalam keadaan bagaimanapun tetap kita dianjurkan menempuh jalur-jalur bijaksana seÂbagaimana dijelaskan dalam ayat: Ajaklah (maÂnusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereÂka dengan cara yang baik. Sesungguhnya TuÂhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan DiÂalah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk. (Q.S. al-Naml/16:125).
Dalam pandangan sufisme, perbedaan adaÂlah sebuah keniscayaan. Semuanya tercipta dengan tujuan khusus yang sudah dirancang oleh Sang Pencipta. Allah Swt juga menginÂgatkan: Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (Q.S. Yunus/10:99). Islam sufisme lebih menekaÂnkan titik temu nilai-nilai kemanusiaan. Sedikit agak berbeda dengan pandangan formal-logÂic (fikih) menilai seseorang berdasarkan nilai-nilai formal dalam ajaran agama. Tanpa henÂdak mempertentangkan antara Islam fikih dan Islam tasawuf, Islam fikih mengukur seseorang berdasarkan ukuran formal sebagaimana jiga ditetapkan dalam ajaran Al-Qur'an dan hadis. Sedangkan Islam sufisme lebih menekankan manusia sebagai makhluk Allah yang diciptaÂkan dengan tujuan tertentu. Ketidakmampuan seseorang menunaikan ajaran agama yang diÂanutnya itu wilayah keterbatasannya sebagai manusia. Allah-lah yang berhak menghitung dan mengukur penyimpangan perbuatan hamÂba-Nya. Tidak boleh menghakimi mereka tanpa melalui prosedur semestinya, Allah Swt Maha Pengasih dan Maha Pengampun. Tidak ada yang salah jika Dia akan mengampuni hamba- Nya. Mungkin pada saatnya juga akan memberi petunjuk pada hamba-Nya.
Populer
Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21
Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58
Senin, 08 Desember 2025 | 19:12
Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53
Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08
Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44
Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46
UPDATE
Selasa, 16 Desember 2025 | 12:10
Selasa, 16 Desember 2025 | 12:04
Selasa, 16 Desember 2025 | 11:41
Selasa, 16 Desember 2025 | 11:13
Selasa, 16 Desember 2025 | 11:12
Selasa, 16 Desember 2025 | 11:03
Selasa, 16 Desember 2025 | 10:56
Selasa, 16 Desember 2025 | 10:54
Selasa, 16 Desember 2025 | 10:46
Selasa, 16 Desember 2025 | 10:33