Dunya Saboori (8) siap-siap berangkat sekolah. Gadis cilik itu tidak ingin terlambat masuk sekolah pada awal pekan ini yang menandai tahun ajaran baru di Afghanistan.
"Ini hampir jam 07.00 dan kita akan terlambat," keluh Dunya ketika duduk di ruang keluarga, di rumahnya, di Kabul.
Setelah liburan panjang seÂlama lebih dari dua bulan, Dunya tak sabar bertemu dengan teman-temannya. Aktivitas semacam itu seperti yang dialami jutaan anak di seluruh dunia menjelang berangkat sekolah.
Namun di Afghanistan yang sedang dianda perang, rutinitas mengantar dan menjemput anak-anak di sekolah merupakan hal yang penuh dengan bahaya.
Warga sipil kerap terjebak situasi kekerasan mematikan.
Ibu Dunya, Maliha tentu khawatir dengan keselamatan anaknya. Namun, dia tetap meÂmastikan anak-anaknya meningÂgalkan rumah tepat waktu.
Dunya dan kedua adiknya, Sana dan Sama, memakai seÂragamnya yang rapi disetrika, menutupi rambut hitam mereka dengan syal hitam, dan memÂbawa tas punggung baru mereka menuju ke sekolah.
Bersama ayahnya, Baqi, kedÂuanya di antar ke sekolah melewati jalan-jalan yang sibuk di Kabul.
Dunya dan Sana, termasuk di antara lebih dari 8 juta anak yang terdaftar di sekolah di seÂluruh Afghanistan tahun ini dan sekitar 40 persennya merupakan murid perempuan.
Sementara, sekitar 3,5 juta anak usia sekolah lainnya keÂhilangan gedung sekolahnya yang rusak akibat konflik dan kemiskinan.
Tingkat literasi umum di AfÂghanistan merupakan salah satu yang terendah di dunia, hanya 36 persen.
Presiden Afghanistan Ashraf Ghani berjanji akan memperbaiki sistem pendidikan dan menjadikanÂnya sebagai prioritas tahun ini.
Ghani menjanjikan dana sebeÂsar 200 juta dollar Amerika SerÂikat atau Rp 2,7 triliun untuk pemÂbangunan 6.000 gedung sekolah selama dua tahun ke depan.
Keamanan menjadi perhatian yang lebih besar bagi banyak orangtua. Maliha dan orangtua lainnya ingin bisa menganÂtar dan menjemput anak-anak perempuan mereka tanpa khaÂwatir bom akan meledak.
"Warga sipil berada dalam bahaya di mana-mana, ini meruÂpakan keprihatinan bagi semua keluarga Afghanistan," kata Baqi. ***