Keamanan taksi daring atau online di Indonesia dinilai masih lemah.
Pasalnya, banyak kasus di mana pencabulan, pemerkosaan, perampokan bahkan hingga pembunuhan dialami oleh pengguna taksi online.
Kasus terbaru adalah perampokan dan pembunuhan seorang wanita bernama Yun Siska Rohani (29 tahun) oleh pengemudi taksi online yang ditumpanginya di Bogor. Dia dibunuh dan dirampok oleh pengemudi taksi online yang korban tumpangi di Bogor. Pengemudi taksi online ini melakukan pembunuhan dibantu seorang rekannya.
Sebelumnya juga tercatat pernah ada kasus percobaan pemerkosaan terhdap penumpang taksi online di Makassar pada 11 Oktober 2017, perampokan penumpang taksi online di Bandung 17 Januari 2018 dan pencabulan seorang penumpang taksi online di kawasan Bandara Soekarno Hatta 12 Februari 2018 lalu.
"Penanganan atau penyelesaian masalah kemanan atau jaminan perlindungan hukum bagi pengguna taksi online nyaris tidak ada hingga saat ini. Pemerintah seakan tidak berwibawa dihadapan para aplikator taksi online," kata Analis Kebijakan Transportasi dan KetuaForum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Azas Tigor Nainggolan dalam keterangannya kepada redaksi jelang akhir pekan ini.
"Hingga saat ini pemerintah tidak berdaya mengawasi dan menegakan hukum terhadap pelanggaran keamanan atau kejahatan yang terjadi di pelayanan taksi online. Pemerintah tidak memiliki kemauan melindungi pengguna taksi online dan seakan membiarkan saja kejahatan dan masalah di taksi online," sambungnya.
Dia menambahkan bahwa semua kasus kejahatan oleh pengemudi taksi online tersebut membuktikan bahwa tidak adanya Standar Pelayanan Minimum (SPM) pelayanan taksi online terhadap penumpang atau penggunanya.
"Semua kejadian kejahatan oleh pengemudi taksi online tersebut juga membuktikan d bahwa tidak ada standar bagus dalam rekruiting pengemudi oleh aplikator taksi online hingga saat ini," sambungnya.
Lebih lanjut Azas menilai bahwa pemerintah tampak tidak peduli dan terkesan diam saja terhadap penyedia layanan taksi online yang mitra atau pengemudinya melakukan kejahatan terhadap penumpangnya.
"Padahal yang merekrut dan mengoperasikan para pengemudi itu adalah perusahaan aplikasi atau aplikator taksi online," jelasnya.
Dia menambahkan bahwa baru-baru ini, Uni Eropa melalui European Court of Justice (ECJ) telah memutuskan bahwa pelayanan taksi online Uber diawasi sebagaimana pengawasan terhadap operator taksi lainnya seperti pengaturan tanda (stiker) lisensinya dan lain-lain.
"Bagaimana dengan Indonesia? Pengawasan terhadap SPM taksi umumnya (konvensional) saja lemah dan keamanan layanan taksi konvensional juga lemah sampai saat ini. Masalah keamanan taksi online dan konvensional sama-sama kemah, banyak tindak kejahatan dan belum ada penegakan peraturan serta pengawasan ketat oleh pemerintah," kritiknya.
"Untuk itu pemerintah harus berwibawa dalam menegakan peraturan serta mengawasi ketat SPM dalam pelayanan taksi online dan taksi konvensional. Ketegasan itu bisa dilakukan jika pemerintah menjaga kewibawaannya sendiri di hadapan pengusaha taksi konvensional dan aplikator taksi online," demikian Azas.
[mel]