Bank Indonesia (BI) menerÂbitkan penyempurnaan aturan soal pembawaan Uang Kertas Asing (UKA) ke dalam dan ke luar daerah pabean Indonesia, melalui Peraturan Bank IndoÂnesia (PBI) No. 20/2/PBI/2018.
Perubahan utama dalam PBI tersebut mengenai sanksi atas pelanggaran PBI Pembawaan UKA, yang sebelumnya hanya berupa pencegahan atas kegiatan pembawaan UKA, kemudian menjadi sanksi kewajiban memÂbayar (denda).
Direktur Eksekutif DeparteÂmen Komunikasi BI Agusman Zaenal mengatakan, melalui peraturan yang baru, denda akan dikenakan kepada setiap orang atau korporasi yang melakukan pembawaan UKA lintas pabean dengan nilai paling sedikit setara dengan Rp 1 miliar, kecuali badan berizin, yaitu bank dan penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing (KUPÂVA) Bukan Bank yang telah memperoleh izin dan persetuÂjuan dari BI.
"Aturan yang baru diharapkan akan meningkatkan efektivitas penegakan hukum (law enforcement) terhadap pelanggaran ketentuan pembawaan UKA," ucap AgusÂman dalam keterangan resminya kepada
Rakyat Merdeka.
Dalam pelaksanaannya, samÂbung Agusman, pengawasan pembawaan UKA dan pengenaan sanksi denda di daerah pabean akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Penetapan besaran denda dan mekanisme penyetoran pada kas negara diharmonisasikan dengan norma yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan lainnya, tentunya yang terkait pembawaan uang tunai, antara lain Peraturan Pemerintah (PP) No. 99 Tahun 2016 tentang Pembawaan Uang Tunai dan atau Instrumen PemÂbayaran Lain Ke Dalam atau Ke Luar Daerah Pabean Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, imÂbuh Agusman, maka besarnya sanksi denda yang dikenakan kepada orang atau korporasi yang tidak memiliki izin dan persetuÂjuan adalah 10 persen dari seluruh jumlah UKA yang dibawa, denÂgan jumlah denda paling banyak setara dengan Rp 300 juta.
"Sanksi berupa denda juga akan dikenakan kepada badan berizin yang melakukan pembawaan UKA dengan jumlah melebihi persetujuan UKA oleh Bank Indonesia, sebesar 10 persen dari kelebihan jumlah UKA yang dibawa dengan jumlah denda paling banyak setara dengan Rp 300 juta," katanya.
Menurut Agusman, penyemÂpurnaan ketentuan pembawaan UKA diharapkan dapat memÂperkuat monitoring aktivitas pembawaan UKA oleh Bank SentraI. Dengan monitoring yang baik, pengaturan tersebut diharapkan dapat mendukung efektivitas kebijakan moneter, khususnya dalam mengendaliÂkan nilai tukar.
Namun Bank Sentral meÂnegaskan, hal tersebut bukan merupakan kebijakan kontrol devisa. Warga Negara IndoneÂsia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA) yang memerlukan UKA di atas ambang batas izin Pembawaan UKA tetap dapat memenuhi kebutuhan valuta asÂing, secara nontunai.
"Pelaksanaan pengajuan perÂmohonan izin sebagai badan berizin dan permohonan persetuÂjuan kuota pembawaan UKA kepada BI akan berlaku sejak 4 Juni 2018. Sementara pengenaan sanksi terhadap pelanggaran PBI akan efektif berlaku pada 3 SepÂtember 2018," imbuhnya.
Menyoal ini, pengamat perÂbankan dari Universitas Gadjah Mada Paul Sutaryono mengoÂmentari, sanksi tegas BI meruÂpakan hal yang sudah lama ditunggu.
Pasalnya, baru tahun ini Bank Sentral menetapkan sanksi dan denda hingga Rp 300 juta. Tahun lalu, beleid tersebut menjelaskan BI hanya melakukan monitor tanpa memberikan denda.
"Tentu ini langkah maju. Aturan tersebut memang sejalan dengan upaya yang dilakukan BI untuk mencapai dan memelihara kestabilan rupiah, yang memang saat ini masih fluktuatif," ujarnya kepada
Rakyat Merdeka. Paul menuturkan, pembawaan sejumlah uang asing lintas negara memang harus diatur, sehingga ada kontrol bagi rupiah sendiri di dalam negeri. Terlebih, aktivitas pembawaan UKA juga cukup tinggi. ***