Salah satu relawan calon Bupati dan Wakil Bupati Polewalimandar, Sulawesi Barat, Salim-Marwan dipukuli empat orang tak dikenal di kediamannya pada Jumat (16/3) malam.
Pemukulan itu berlangsung saat korban bernama Hamzah, warga Kanang Desa Batetanga, Binuang, tengah membagikan kalender.
Menanggapi insiden tersebut, Direktur Lembaga Riset Publik Muhammad Yunus mengatakan bahwa pemukulan itu merupakan tindakan barbar yang semestinya tidak boleh terjadi di alam demokrasi.
"Intimidasi, teror, persekusi, penganiayaan fisik dan sejenisnya itu kuno. Masyarakat beradab harus kecam tindakan itu," katanya kepada wartawan, Sabtu (17/3).
Ia menyatakan, munculnya tindakan semacam itu dalam arena kontestasi Pilkada mudah ditebak motif dan tujuannya. Sebab, orang yang berpikiran sehat dan demokratis, tidak akan mungkin melakukannya.
"Saya menyebutnya paranoia politik. Sama dengan gejala gangguan kepribadian paranoid. Gejala ini muncul ketika eksistensi diri, kekuatan atau kekuasaan, terancam oleh kekuatan orang lain," bebernya.
Menurut Yunus, ketika seseorang mengidap paranoia politik, maka dia akan melakukan apapun untuk mengancam bahkan menghabisi lawan. Di dalam dirinya terdapat tekanan kuat yang kemudian mendorongnya melakukan agresi.
"Karena dia panik. Dan orang panik cenderung tidak rasional lagi. Tindakannya lebih mencerminkan sikap frustasi," terangnya.
Pemukulan yang menimpa relawan Salim-Marwan, sambung Yunus, jelas mengarah kepada persaingan dalam Pilkada. Sebab dalam pemukulan itu, muncul perkataan dari pelaku yang mengancam dan menyebut nama salah satu calon.
"Seperti kata-kata ‘rasakan jenderalmu!’Itu kan jelas mengarah. Artinya, pelaku dan orang-orang di belakangnya ini kesal, panik dan frustasi dengan kekuatan sang jenderal itu," tegasnya.
Padahal, lanjut Yunus, sebenarnya tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan korban. Yang bersangkutan hanya bagi-bagi kalender kandidat di sekitar rumahnya.
"Setahu saya, tidak ada aturan yang dilanggar, dan pihak manapun boleh melakukan hal yang sama," imbuhnya.
[ian]