Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengecam pernyataan Jaksa Agung M. Prasetyo baru-baru ini yang mengindikasikan akan dilakÂsanakannya eksekusi mati jilid empat di 2018. Mereka mendeÂsak Jaksa Agung menghentikan rencana eksekusi mati tersebut. Alasannya, gelombang ekÂsekusi mati sebelumnya meÂnyisakan banyak masalah.
Direktur LBH Masyarakat, Ricky Gunawan menyebutkan, pernyataan-pernyataan Jaksa Agung yang disampaikan ke media massa seminggu beÂlakangan tidak lebih sebagai upaya caper alias mencari perhatian publik di panggung hukum nasional.
"Jika dibandingkan denÂgan institusi penegakan huÂkum lainnya seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Agung dan Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia jelas paling tertÂinggal dan kering prestasi," ujarnya.
Sejak dilantik sebagai Jaksa Agung pada November 2014, M. Prasetyo tidak kunjung menghasilkan prestasi yang membanggakan. "Karena itu, eksekusi mati jelas menjadi jalan pintas bagi Jaksa Agung untuk menunjukkan kepada publik bahwa seolah-olah institusi Kejaksaan Agung telah bekerja dengan baik," jelas Ricky.
Padahal, pada Juli 2017, Ombudsman Republik Indonesia telah menyatakan, ekÂsekusi mati jilid tiga yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung pada Juli 2016 menÂgandung maladministrasi dan Kejaksaan Agung harus memÂbenahi dirinya.
Ricky menegaskan, rencana Kejaksaan Agung yang ingin melaksanakan eksekusi mati jilid 4 juga kontra-produktif dengan diplomasi Indonesia di arena politik internasionÂal. Patut dicatat, Indonesia baru menerima kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB pada Februari 2018, dan mengÂincar posisi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020, serta tengah gencar menyelamatkan ratusan buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati.
"Eksekusi mati justru akan mencoreng citra Indonesia di hadapan komunitas internaÂsional," katanya.
Daripada menyiapkan renÂcana eksekusi mati, lebih baik Kejaksaan Agung memperÂcepat reformasi birokrasi di dalam tubuh kejaksaan, dan menyelesaikan segala perkara korupsi besar dan pelanggaran HAM masa lalu yang belum juga tuntas.
LBH Masyarakat, lanjut Ricky, mendukung upaya peÂmerintah Indonesia menangani persoalan narkotika, tetapi upaya tersebut harus sejalan dengan hak asasi manusia dan berbasis bukti ilmiah.
"Maraknya peredaran gelap narkotika sekalipun Indonesia telah melakukan tiga kali ekÂsekusi mati memperlihatkan bahwa eksekusi mati tidak memberikan efek jera, sebaÂgaimana juga telah dibuktikan melalui banyak penelitian di banyak negara," tandasnya.
Sebelumnya, Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan eksekusi terhadap terpidana mati yang proses hukumnya sudah berkekuatan hukum tetap tinggal menunggu waktu saja. Eksekusi akan dilakukan setelah hak hukum para terpiÂdana terpenuhi.
"Timing-nya sedang kita timbang-timbang, kapan saat yang tepat untuk melaksanaÂkan eksekusi. Jangan dipikir kita tidak akan melaksanakan," ujarnya di Jakarta, Kamis (1/3) lalu.
Prasetyo mengakui masih ada terpidana mati yang menÂgajukan grasi dan peninjauan kembali (PK) lebih dari sekali. Menurutnya, dalam pidana lain, permohonan PK tidak menangguhkan pelaksanaan putusan. Berbeda dengan piÂdana mati.
"Jangan sampai justru sudah dieksekusi ada PK dan putusan pengadilan mengabulkan, kan tidak bisa lagi," katanya. ***