Dalam aksi Women's March 2018 di Jakarta, Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) menyuarakan tuntutan perempuan korban Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (Napza) kepada pemerintah dan masyarakat Indonesia, khususÂnya dalam menolak kekerasan, diskriminasi, dan presekusi terhÂadap perempuan korban Napza.
Selama ini perempuan korÂban Napza mengalami banyak bentuk diskriminasi dari banyak pihak. Perwakilan PKNI Jakarta, Mira Febriyanti mengatakan, pihaknya menyampaikan 7 tunÂtutan dalam aksi menolak kekÂerasan berbasis gender terhadap perempuan korban Napza pada kesempatan Women's March menyambut Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret 2018.
Ketujuh tuntutan tersebut adalah, libatkan perempuan korban Napza dalam menyusun kebijakan hukum dan rehabiliÂtasi, hapuskan pasal karet RUU Narkotika No. 35/2009 dan R KUHP, praktikkan dekriminalÂisasi korban Napza dalam sistem peradilan pidana, hapuskan kekerasan terhadap perempuan korban Napza dari negara dan masyarakat.
Berikutnya, hapuskan stigÂma dan diskriminasi terhadap perempuan korban Napza, penuhi hak kesehatan bagi perempuan korban Napza sampai di dalam lapas, bangun dukungan psikoÂsosial bagi perempuan korban Napza. "Tujuh tuntutan ini dibuat berdasarkan pengalaman peremÂpuan korban Napza," katanya.
Mira mengungkapkan, saat ini belum ada program pencegahan kekerasan dan pelaporan bagi perempuan pengguna Napza. Dalam penanganan hukum pun, layanan bantuan hukum sering tidak dapat diakses oleh peremÂpuan yang secara sosial sudah terisolasi dan terpinggirkan.
"Sebagai perempuan pengÂguna Napza, kami punya pengalaman dan kebutuhan berbeda dengan laki-laki. Sering kami mengalami stigma lebih tinggi dari komunitas dan masyarakat, dari petugas layanan kesehatan, juga dalam sistem peradilan piÂdana, karena status kami sebagai pengguna Napza. Tapi, kami pun manusia dan pantas mendapatÂkan hak yang sama seperti orang lain," paparnya.
Tuntutan tersebut disampaikan berdasarkan data temuan studi Perempuan Bersuara, pada tahun 2014 dan 2015 yang menunjukan tingginya kekerasan berbasis gender terhadap 731 perempuan pengguna Napza suntik di atas 18 tahun di Jawa Barat, Banten, dan Jakarta. Jenis kekerasan yang dialami adalah kekerasan, pelecehan, dan intimidasi oleh penegak hukum.
Sebanyak 87 persen perempuan yang sebelumnya ditangkap dimÂinta uang suap oleh polisi untuk mendapatkan dakwaan mereka dijatuhkan. Kekerasan oknum polisi juga sering terjadi.
Sebanyak 60 persen peremÂpuan yang mendapat kontak dengan petugas penegak hukum dianiaya kekerasan secara verÂbal seperti dihina/dicaci-maki oleh aparat penegak hukum, 27 persen dilecehkan secara fisik seperti ditampar, dipukul, ditendang, atau dipukuli, dan 5 persen dilecehkan secara seksual secara paksa oleh aparat penegak hukum dalam proses penangkaÂpan. ***