Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali memundurkan jadwal pelaporan data pajak naÂsabah kartu kredit, yang semula akhir Februari 2018 menjadi akhir Maret 2018. Untuk itu mereka berharap semua lemÂbaga perbankan sudah siap melaksanakannya. Karena jika tidak, DJP sudah menyiapkan ancaman serius bagi perbankan yang membandel.
Ya, mulai April 2018 seluÂruh lembaga keuangan, baik perbankan, manager investasi, hingga koperasi wajib melaporÂkan data nasabah kepada DJP. Ada sanksi pidana 1 tahun atau denda Rp 1 miliar yang menanti buat lembaga keuangan yang tidak melapor sesuai ketentuan.
Menurut General Manager Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) Steve Martha, langkah maju mundur DJP memang membuktikan aturan buka data nasabah terkesan dipaksakan. Diakuinya, dari pihak pemerÂintah sejauh ini belum mengÂinformasikan detail peraturan teknis atau standar operasional prosedur (SOP) untuk melakuÂkan penyampaian data nasabah kartu kredit.
"Belum ada ya detailnya, masih dibicarakan, kami juga masih bisa berdiskusi lagi. NaÂmun, permintaan data tersebut bukan suatu hal yang mustahil untuk dipenuhi. Butuh waktu untuk mengolahnya," tuturnya kepada Rakyat Merdeka.
Menurut Steve, meskipun datanya tersedia, tapi tidak mudah dilaporkan karena siÂfatnya berupa data mentah. Setiap penerbit juga berbeda standarnya, sehingga harus disaÂmakan terlebih dahulu. "Belum lagi jumlah transaksinya yang cukup banyak, bisa ratusan ribu sampai jutaan," tuturnya.
Ia melanjutkan, terkait metode penyampaian dan penyimpanan data tersebut, AKKI juga meÂminta Ditjen Pajak untuk tidak mengabaikan aspek keamanan.
Ditanya soal adanya kekhaÂwatiran aturan tersebut akan memÂpengaruhi volume transaksi kartu kredit, Steve melihatnya dampakÂnya tidak begitu signifikan. Ia lalu membeberkan transaksi kartu kredit tahun lalu mencapai Rp 297,76 triliÂun. Sebagian besar untuk keperluan belanja, yaitu Rp 288,91 triliun. Sedangkan secara jumlah, memang kartu kredit ada penyusutan.
"Susutnya jumlah kartu kredit tak terkait dengan isu pelaporan pajak. Namun karena bank bersih-bersih kartu kredit yang yang jarang digunakan. Jadi kartu yang tidak aktif digunakan nasabah ditutup dan dihapus dari pembukuan," ujar Steve.
Direktur Utama PT Bank Mega Tbk Kostaman Thayib menyambut baik langkah pemerÂintah yang mengundurkan jadÂwal pelaporan. Hal itu dilihatnya guna mempersiapkan industri perbankan lebih baik lagi.
"Kan masih diskusi bagaimana sistem pelaporannya. Sebab, seÂlama ini bank sudah melaporkan kepada OJK (Otoritas Jasa KeuanÂgan) dan itu sudah ada sistemnya. Nanti apakah bisa pakai sistem yang sudah ada atau bagaimana, sehingga bank tak usah memÂbangun sistem yang baru lagi," katanya kepada Rakyat Merdeka.
Menurutnya, pasca adanya pelaporan pajak terkait Tax AmÂnesty, habit masyarakat memang dibentuk untuk terbuka dalam hal pelaporan pajak. "Kalau begitu, seharusnya tidak memberikan dampak yang signifikan bagi bisnis kartu kredit. Kami meminta nasabah untuk tak khawatir, semua bank juga harus siap," tuturnya.
Tahun lalu, kata Kostaman, volume transaksi kartu kredit tumbuh 7 persen atau naik sekitar Rp 2 triliun. "Tahun ini berharap kartu kredit tetap baik, kita harapkan bisa tumbuh 20 persen. Dari transaksi Rp 29 triliun menÂjadi Rp 36 triliun, jadi target 1 bulan Rp 3 triliun," katanya.
Di kesempatan berbeda, DirekÂtur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama menjelaskan, seluruh lembaga keuangan yang tercakup dalam Undang-Undang tentang Akses Informasi Keuangan untuk KeÂpentingan Perpajakan, wajib melaporkan data nasabahnya. Adapun lembaga keuangan yang dimaksud wajib mendaftarkan diri paling lambat akhir Maret 2018.
"Dalam Undang-undang NoÂmor 9 Tahun 2017, tidak ada sanksi kalau dia tidak daftar karena ini bersifat administratif. (Sanksi) hanya berlaku kalau mereka laporan rekening yang 1 Agustus, mereka yang tidak melakukan akan dikenakan sanksi pidana 1 tahun atau denda Rp 1 miliar," katanya. ***