Ribuan buruh yang bekerja sebagai kuli bangunan atau tukang bangunan, meminta peÂmerintah memperhatikan nasib mereka. Selain tidak pernah dianggap sebagai pekerja yang selayaknya, buruh bangunan ini jumlahnya sangat banyak namun nasibnya tragis.
Ketua Serikat Kuli Bangunan Pasuruan, Jawa Timur, Imron mengungkapkan, sebagai pekerja yang tenaga dan keahlÂiannya dimanfaatkan pemilik kerja tanpa perlindungan yang memadai, para kuli bangunan yang jumlahnya puluhan juta tersebar di Indonesia dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari sangat terancam.
"Kami hanya diupah Rp 100 ribu per hari. Itu upah kotor, tidak dikasih makan, dan tidak ada jaminan apa-apa. Itu kalau kerjanya langsung ke owner. Kalau kerja lewat mandor atau pemborong, malah lebih sedikit lagi. Nggak cukup unÂtuk membeli kebutuhan seÂhari-hari yang harganya terus meningkat tinggi," tuturnya, kepada Rakyat Merdeka.
Dia mengungkapkan, untuk wilayah Lamongan, Jawa Timur saja, begitu banyak perusahaan besar berskala internasional yang beroperasi. Dibanding penggajian buruh di perusahaan dan pabrik-pabrik, kata dia, kesÂejahteraan buruh kuli bangunan amat memprihatinkan.
"Padahal, kami tidak melulu hanya mengandalkan tenaga saja, tetapi juga keahlian. Dari zaman ke zaman, kami para kuli bangunan terus dicari dan dibutuhkan, namun nasib dan kesejahteraan kami tak pernah diperhatikan," tutur Imron. Jika diminta mencari pekerjaan lain, curhatnya, kuli banguÂnan mau saja. Faktanya, kata dia, hari ini pun tidak tersedia lapangan pekerjaan lainnya yang memadai dan tersedia bagi para kuli bangunan.
"Di zaman Pak Jokowi, kok nasib kami kian terpuruk. Tidak ada perhatian, tidak cuÂkup untuk makan. Jika sehari saja, misalnya, harus membiÂayai lima anggota keluarga, beras 1 liter saja anggap saja Rp 10.000, sehari untuk beÂras harus keluar Rp 30.000. Sisanya buat ongkos, kontraÂkan, obat kalau sakit dan lain-lain. Kami sangat susah Pak," ungkap Imron.
Dia berharap ada kemauan dan keseriusan pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk menÂdengar dan melihat kondisi ril para kuli bangunan, untuk selanjutnya dibantu meninÂgkatkan penghasilan demi kesejahteraan mereka.
"Kami cemburu dengan buruh pabrik. Di Lamongan, buruh tukang sapu saja di pabrik memperoleh upah di atas UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota -red), kami kuli bangunan, sangat jauh dengan kecukupan dari UMK itu," papar Imron.
Imron yang kini berusia 43 tahun itu mengaku belum meÂnikah, karena kesulitan hidup yang menderanya. ***