Berita

Nasaruddin Umar/net

Mengenal Inklusifisme Islam Indonesia (25)

Memahami Karakter Santri

KAMIS, 22 FEBRUARI 2018 | 08:53 WIB | OLEH: NASARUDDIN UMAR

KELOMPOK santri dalam lintasan sejarah Indonesia mempunyai sosiologi tersendiri. Pondok Pesantren (PP) dan madrasah yang saat ini jumlahnya seki­tar 27.000, dengan murid atau santri sekitar 7 juta orang, hampir tidak per­nah kedengaran melakukan tawuran. Meskip­un sesekali dipancing namun tetap bergeming dan tidak melakukan pembalasan. Bukannya mereka tidak memiliki semangat darah muda, tetapi kelihatannya mereka lebih arif dalam merespons perkembangan dan keadaan di sekitarnya. Sementara anak-anak usia muda lain yang tergabung di dalam sekolah lain, bah­kan Perguruan Tinggi, masih suka lepas kon­trol dan terpancing emosinya sehingga tawuran masih sering mewarnai kehidupan mereka. Tentu saja tidak semua sekolah umum melaku­kan tawuran, namun jumlah keterlibatan mere­ka semakin meluas. Bukan hanya di perkotaan tetapi sudah merambah ke daerah-daerah atau kota-kota kecil.

PP dan madrasah memiliki resep ampuh dan efektif di dalam menanamkan karakter dan ke­pribadian utuh terhadap para santrinya, yaitu mengefektifkan penggunaan malam hari. Jam pelajaran para santri, khususnya yang mondok, jauh lebih panjang ketimbang di sekolah-seko­lah umum atau sekolah biasa. Bahkan, malam hari terkadang anak-anak tidak mendapatkan pembinaan dan pengawasan di lingkungan ru­mahnya karena mungkin orang tuanya masing-masing sibuk dengan berbagai macam kesibu­kannya. Berbeda di PP, para santri di malam hari tetap mendapatkan pembinaan dan pen­gawasan secara efektif, bahkan tempatnya di mesjid. Setiap sehabis magrib sampai Isya dan setiap sehabis shalat Subuh para santri menda­patkan pembinaan khusus oleh Kiyai atau guru yang lebih senior dalam bentuk memberikan pengajian Kitab Kuning (KK). Materi penga­jian KK umumnya berisi pengembangan kara­kter dan kepribadian. Di siang hari para santri mengikuti pendidikan yang terstruktur melalui panduan kurikulum nasional dan lokal.

Pendidikan karakter tidak muncul hanya di dalam satu atau dua mata pelajaran khusus tetapi terintegrasi di dalam berbagai mata pela­jaran. Pengajarnya pun bukan secara khusus dipegang oleh seorang guru tetapi semua guru menjadi pembentuk karakter di PP. Seluruh guru (asatidz) memiliki kode etik tertulis dan tidak tertulis yang harus di jalani di PP. Antara lain para guru harus kemana-mana dengan menutup aurat dan memelihara muru’ah atau akhlak mulia di berbagai kesempatan. Seorang guru bukan hanya di depan kelas tetapi juga di luar kelas. Para santri terkondisikan di da­lam satu sistem sosial tersendiri di dalam PP. Pengaturan kebersihan, ketertiban, keaman­an, dan kedisiplinan sangat menonjol diperha­tikan di PP. Hal itu sangat dimungkinkan karena pada umumnya PP diisolasi oleh tembok-tem­bok pesantren. Kalau tidak dengan tembok, mereka diisolasi oleh sistem budaya di dalam masyarakat santri. Seperti di beberapa daerah di Jawa Timur, masyarakatnya sudah menjadi santri, sehingga para santri yang berdatangan dari berbagai penjuru hidup di dalam sub kultur masyarakat santri.


Jadwal kegiatan di PP yang sedemikian ketat, seolah-olah para santri tidak pernah pu­nya waktu luang untuk bersantai, karena di­jajali dengan kegiatan, baik kegiatan yang ter­struktur maupun yang tidak terstruktur. Jam 4 subuh sudah harus ke Mesjid bersama Kiyai mengaji Kitab Kuning, jam 7 pagi sudah harus di kelas sampai sore yang hanya di sela oleh shalat dan makan. Hanya mereka punya wak­tu luang antara Ashar dan Magrib itu pun digu­nakan olahraga dan kegiatan ex-school seperti kepramukaan dan keterampilan lainnya. Jadi betul-betul waktu energi santri tersedot untuk kegiatan-kegiatan produktif. Bandingkan den­gan sekolah-sekolah umum, apalagi sekolah-sekolah swasta tertentu yang muridnya sering nganggur karena guru di kelasnya bolos. Ber­bahaya sekali jika sekitar 30 siswa berada di dalam satu ruang tanpa guru. Mereka bisa mer­ancang kegiatan sesuai dorongan semangat mudanya untuk melakukan sesuatu.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

UNJ Gelar Diskusi dan Galang Donasi Kemanusiaan untuk Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:10

Skandal Sertifikasi K3: KPK Panggil Irjen Kemnaker, Total Aliran Dana Rp81 Miliar

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:04

KPU Raih Lembaga Terinformatif dari Komisi Informasi

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:41

Dipimpin Ferry Juliantono, Kemenkop Masuk 10 Besar Badan Publik Informatif

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:13

KPK Janji Usut Anggota Komisi XI DPR Lain dalam Kasus Dana CSR BI-OJK

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:12

Harga Minyak Turun Dipicu Melemahnya Data Ekonomi China

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:03

Kritik “Wisata Bencana”, Prabowo Tak Ingin Menteri Kabinet Cuma Gemar Bersolek

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:56

Din Syamsuddin Dorong UMJ jadi Universitas Kelas Dunia di Usia 70 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:54

Tentang Natal Bersama, Wamenag Ingatkan Itu Perayaan Umat Kristiani Kemenag Bukan Lintas Agama

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:46

Dolar AS Melemah di Tengah Pekan Krusial Bank Sentral

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:33

Selengkapnya