Nasaruddin Umar/net
Nasaruddin Umar/net
KELOMPOK santri dalam lintasan sejarah Indonesia mempunyai sosiologi tersendiri. Pondok Pesantren (PP) dan madrasah yang saat ini jumlahnya sekiÂtar 27.000, dengan murid atau santri sekitar 7 juta orang, hampir tidak perÂnah kedengaran melakukan tawuran. MeskipÂun sesekali dipancing namun tetap bergeming dan tidak melakukan pembalasan. Bukannya mereka tidak memiliki semangat darah muda, tetapi kelihatannya mereka lebih arif dalam merespons perkembangan dan keadaan di sekitarnya. Sementara anak-anak usia muda lain yang tergabung di dalam sekolah lain, bahÂkan Perguruan Tinggi, masih suka lepas konÂtrol dan terpancing emosinya sehingga tawuran masih sering mewarnai kehidupan mereka. Tentu saja tidak semua sekolah umum melakuÂkan tawuran, namun jumlah keterlibatan mereÂka semakin meluas. Bukan hanya di perkotaan tetapi sudah merambah ke daerah-daerah atau kota-kota kecil.
PP dan madrasah memiliki resep ampuh dan efektif di dalam menanamkan karakter dan keÂpribadian utuh terhadap para santrinya, yaitu mengefektifkan penggunaan malam hari. Jam pelajaran para santri, khususnya yang mondok, jauh lebih panjang ketimbang di sekolah-sekoÂlah umum atau sekolah biasa. Bahkan, malam hari terkadang anak-anak tidak mendapatkan pembinaan dan pengawasan di lingkungan ruÂmahnya karena mungkin orang tuanya masing-masing sibuk dengan berbagai macam kesibuÂkannya. Berbeda di PP, para santri di malam hari tetap mendapatkan pembinaan dan penÂgawasan secara efektif, bahkan tempatnya di mesjid. Setiap sehabis magrib sampai Isya dan setiap sehabis shalat Subuh para santri mendaÂpatkan pembinaan khusus oleh Kiyai atau guru yang lebih senior dalam bentuk memberikan pengajian Kitab Kuning (KK). Materi pengaÂjian KK umumnya berisi pengembangan karaÂkter dan kepribadian. Di siang hari para santri mengikuti pendidikan yang terstruktur melalui panduan kurikulum nasional dan lokal.
Pendidikan karakter tidak muncul hanya di dalam satu atau dua mata pelajaran khusus tetapi terintegrasi di dalam berbagai mata pelaÂjaran. Pengajarnya pun bukan secara khusus dipegang oleh seorang guru tetapi semua guru menjadi pembentuk karakter di PP. Seluruh guru (asatidz) memiliki kode etik tertulis dan tidak tertulis yang harus di jalani di PP. Antara lain para guru harus kemana-mana dengan menutup aurat dan memelihara muru’ah atau akhlak mulia di berbagai kesempatan. Seorang guru bukan hanya di depan kelas tetapi juga di luar kelas. Para santri terkondisikan di daÂlam satu sistem sosial tersendiri di dalam PP. Pengaturan kebersihan, ketertiban, keamanÂan, dan kedisiplinan sangat menonjol diperhaÂtikan di PP. Hal itu sangat dimungkinkan karena pada umumnya PP diisolasi oleh tembok-temÂbok pesantren. Kalau tidak dengan tembok, mereka diisolasi oleh sistem budaya di dalam masyarakat santri. Seperti di beberapa daerah di Jawa Timur, masyarakatnya sudah menjadi santri, sehingga para santri yang berdatangan dari berbagai penjuru hidup di dalam sub kultur masyarakat santri.
Populer
Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21
Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58
Senin, 08 Desember 2025 | 19:12
Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53
Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08
Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44
Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46
UPDATE
Selasa, 16 Desember 2025 | 12:10
Selasa, 16 Desember 2025 | 12:04
Selasa, 16 Desember 2025 | 11:41
Selasa, 16 Desember 2025 | 11:13
Selasa, 16 Desember 2025 | 11:12
Selasa, 16 Desember 2025 | 11:03
Selasa, 16 Desember 2025 | 10:56
Selasa, 16 Desember 2025 | 10:54
Selasa, 16 Desember 2025 | 10:46
Selasa, 16 Desember 2025 | 10:33