Nasaruddin Umar/Net
Nasaruddin Umar/Net
INKLUSIVISME bisa dilihat dalam dua sisi yang berbeÂda. Ada kalangan yang meÂnilai positif karena dengan demikian Islam di Indonesia bisa lebih akomodatif, tolerans, moderat, menerima perbedaan, lebih fleksibel dengan budaya lokal, dan lebih compatible dengan negara bangsa (nation state). Kalangan lainnya melihat sebaliknya. Sikap inklusivisme bisa diÂmaknai sebagai sikap yang tidak disiplin terhadap identitas dan simbol-simbol syari’ah, tidak maksimum di dalam memperjuangkan hukum-hukum Syari'ah, dan terlalu tolerans terhadap hal-hal yang bersifat syubhat, dan tidak berÂsikap tegas terhadap praktik syinkretisme di daÂlam masyarakat. Bahkan ada yang menuding sikap inklusivisme istilah lain dari abangan dan atau sekularisme.
Terlepas dari kedua persepsi di atas, sikap inklusivisme tentu saja mempunyai kelebihan dan kekurangan. Namun demikian, sikap inkluÂsivisme ini juga sangat relatif. Seseorang yang berpandangan moderat (wasathiyah) tidak bisa diidentikkan dengan abangan dalam arti beÂragama secara awam, belum matang, dan tidak substantif. Banyak ulama NUyang secara keilÂmuan sangat mumpuni tetapi pandangannya moderat, dalam arti tidak serta-merta memakÂsakan dan memutlakkan pendapatnya kepaÂda orang lain. Mereka bersikap moderat buÂkan karena di bawah tekanan pemerintah atau ideologi negara, tetapi sebagai konsekuensi dari kedalaman ilmunya. Ada kecenderungan, semakin dalam ilmu seseorang semakin sadar akan arti pluralism. Bisanya komunitas yang anti plural karena pengetahuan dan pemahaÂmannya tanggung.
Namun tidak bisa juga diingkari, ada orang yang memilih bersikap "moderat" karena kedanÂgkalan penegetahuannya tentang agama. MerÂeka hanya mengikut kepada sikap kelompok mayoritas. Kelompok inilah sering disebut kelÂompok abangan. Gus Dur dalam suatu kesempatan pernah berkelakar mengatakan: "NUitu moderat karena abangan." Dengan demikian, mederat bisa terjadi karena keluasan dan kedalaman pengetahuan atau sebaliknya karena kedangkalan pemahaman dan pengetahuan agamanya. Sikap moderat yang pertama bisa disebut wasathiyyah dan sikap moderat kedua sesungguhnya bukan sikap moderat, mungkin bisa disebut "pengekor" (taqlid al-a'ma). Sikap moderat terakhir ini dalam keadaan tertentu bisa juga meluapkan emosi dan amarahnya, terutama jika ada yang memprovokasi. BerÂbeda dengan sikap moderat yang pertama suÂdah melewati tahap emosi dan tidak lagi mudah diprovokasi.
Populer
Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26
Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48
Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
UPDATE
Rabu, 31 Desember 2025 | 02:05
Rabu, 31 Desember 2025 | 01:27
Rabu, 31 Desember 2025 | 01:15
Rabu, 31 Desember 2025 | 01:02
Rabu, 31 Desember 2025 | 00:28
Rabu, 31 Desember 2025 | 00:17
Rabu, 31 Desember 2025 | 00:05
Selasa, 30 Desember 2025 | 23:22
Selasa, 30 Desember 2025 | 23:19
Selasa, 30 Desember 2025 | 23:03