Pengembangan kawasan skala besar seperti pemukiman, industri dan pariwisata merupakan konsekuensi yang tidak terencana dari semua percepatan proyek infrastruktur strategis.
Pemerintah menugaskan Badan Usaha Milik Negara sebagai pelaksana proyek infrastruktur dan properti. Tampaknya belum ada kebijakan yang jelas soal bagaimana peran swasta dan pemangku kepentingan lain dalam hilirisasi investasi sektor infrastruktur.
Hal itu terungkap dalam seminar internasional bertema Infrastructure-led Large Scale Development: TOD, New Town and Affordable Housing yang diselenggarakan oleh International Urban Development Association (Inta) bekerja sama dengan Real Estate Indonesia (REI) dan Urban and Regional Development Institute (URDI) di jakarta, Rabu (14/2).
Percepatan proyek infrastruktur strategis bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan konektivitas antar wilayah. Beberapa proyek infrastruktur yang sedang dibangun, antara lain: Mass Rapid Transit (MRT), Light Rapid Transit (LRT), jalan tol, kereta api cepat, tol laut, pelabuhan, bandara, air bersih dan waduk. Pemerintah mengeluarkan kerangka regulasi dan kebijakan untuk mendukung percepatan proyek infrastruktur strategis. Komitmen pendanaan untuk infrastruktur yang berasal dari APBN juga meningkat tajam dalam tiga tahun terakhir.
Presiden Kehormatan Inta Budiarsa Sastrawinata mengatakan seminar tersebut menjadi ajang bertukar pengalaman dan pengetahuan para pakar dan praktisi pembangunan perkotaan dari INTA yang berpusat di Perancis dan Indonesia terkait pengembangan kawasan skala besar yang dipicu dari proyek-proyek infrastruktur, pendekatan terpadu pembangunan kota baru dan penyediaan rumah layak-terjangkau serta pendekatan Transit Oriented Development (TOD).
"Pemerintah perlu memikirkan bagaimana menangkap nilai manfaat jangka panjang dari semua proyek infrastruktur strategis bagi pengembangan kawasan dan pemenuhan rumah yang terjangkau. Nilai manfaat proyek infrastruktur seharusnya dapat dikelola dan dinikmati oleh semua lapisan masyarakat sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan," jelas Budiarsa kepada redaksi, Kamis (15/2).
Proyek-proyek infrastruktur strategis menciptakan multiplier effect yang menggerakan pertumbuhan ekonomi negara dan menciptakan hilirisasi investasi baru, seperti: kota baru, kota LRT, aero-polis, kawasan wisata terpadu, program satu juta rumah dan lainnya. Secara terpisah dan tidak direncanakan, pengembang swasta bereaksi positif untuk memanfaatkan momentum pembangunan infrastruktur dikaitkan dengan upaya mempromosikan kawasan hunian dan permukiman serta kota baru yang sedang mereka kembangkan.
"Ke depan harus ada kebijakan yang jelas mengenai tugas dan tanggung jawab pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pembangunan ini. Tidak mungkin hanya bergantung pada BUMN sendiri saja. Pemerintah harus mendorong dan melakukan terobosan agar pelaksanaan proyek infrastruktur dan hilirisasi investasi sektor infrastruktur dapat ditangkap dan dikelola dengan baik," papar Budiarsa.
Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa pengembangan kawasan skala besar dilaksanakan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (pemerintah dan swasta) dengan perimeter batas kawasan ditetapkan dalam Master Plan. Pembangunan sistem angkutan massal (MRT dan LRT) diintegrasikan secara terpadu dengan pengembangan properti serta didukung oleh sumber pembiayaan jangka panjang.
Maraknya pembangunan sistem transportasi umum massal di kota-kota besar dan metropolitan menjadi momentum untuk meremajakan kembali kota melalui pelaksanaan pendekatan pembangunan berorientasi transit (TOD).
"Pengembangan kawasan TOD yang diintegrasikan dengan penyediaan kebutuhan hunian terjangkau menjadi bentuk nyata untuk mewujudkan kota yang inklusif dan mengembalikan kota kepada warganya. Selain itu TOD juga memberikan banyak manfaat antara lain mengurangi biaya dan waktu transportasi, mengurangi kemacetan dan mengurangi polusi," demikian Budiarsa.
[wah]