Nasaruddin Umar/Net
Nasaruddin Umar/Net
SELAIN bobolnya pertahÂanan Kerajaan Hindu-MaÂjapahit dalam abad ke-16 dan Islamnya Kerajaan Mataram, faktor geopolitik juga sangat menentukan. Pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869 memÂbuat umat Islam semakin ramai memasuki Kota MeÂkah untuk menunaikan haji dan umrah. SeÂbagian lainnya menuntut ilmu dan bekerja. Kota Mekah dan Madinah semakin heteroÂgen dari segi mazhab dan aliran. Seiring dengan itu di Timur Tengah sedang berlangÂsung pergolakan dari kaum reformis untuk membebaskan negerinya dari penjajahan. Di antara semboyan mereka ialah kembali keÂpada Al-Qur’an dan Hadis. Gerakan ortodokÂsi ini juga berpengaruh ke Indonesia melalui jamaah haji dan umrah dari Indonesia melaÂlui jamaah haji dan umrah serta para saudaÂgar muslim dari Timur Tengah. Apalagi saat itu benteng Kerajaan Hindu-Majapahit yang sering menghambat pergerakan para saudaÂgar muslim sudah runtuh.
Jauh sebelum pembukaan terusan Suez, penaklukan Konstantinopel di Istambul Turki oleh Kerajaan Ottoman dalam tahun 1453, juga berpengaruh penting bagi proses pengislaman Indonesia. Para pedagang dari Barat tidak lagi leluasa melewati selat BosÂporus, selat yang memisahkan Turki bagian Eropa dan bagian Asia dan menghubungkan laut Marmara dengan laut Hitam. Selat ini memiliki panjang 30 km, dengan lebar makÂsimum 3.700 meter pada bagian utara, dan minimum 750 meter antara Anadoluhisarı dan Rumelihisarı. Kedalamannya bervariaÂsi antara 36 sampai 124 meter. Setelah peÂmerintah Ottoman menguasai Kawasan ini orang-orang Portugis terpaksa harus mendiÂrikan pos-pos perdagangan yang dipersenÂjataidengan berkolaborasi dengan kekuatan militer India dan China. Kekuatan ini berhaÂsil mengambil alih Kerajaan malaka dalam tahun 1511. Penaklukan kota-kota Pantai oleh para saudagar bersenjata dari Spanyol membuat para pangeran mendekati kekuaÂtan Islam sebagai kelompok yang sama-saÂma mendapatkan tekanan dari Porugis. DisÂusul kemudian dengan saudagar bersenjata VOC dan kekuatan Belanda menancapkan kaki-tangannya di bumi Indonesia.
Simpati yang ditampilkan para saudagar muslim dari berbagai belahan bumi bagian Timur-Tengah yang beragama Islam memÂbuat para pangeran memilih bergabung atau memberikan tempat di hati mereka ketimbang memilih agama-agama lain termasuk Kristen dan Katolik. Meskipun jumlahnya tidak terÂlalu banyak dan hanya menguasai wilayah-wilayah kecil tetapi strategis di Selat Malaka. Sikap kasar yang ditampilkan para pemerÂintah kolonial terhadap pribumi, khususnya umat Islam, membuat masyarakat luas seÂmakin simpati kepada agama Islam. Pada saat bersamaan rasa antipati masyarakat sering muncul kepada komunitas Kristen-KaÂtolik, karena seperti diungkapkan oleh Prof Aqib Suminto dalam disertasinya: "Politik Islam Hindia Belanda," hari Minggu pribumi sibuk dengan kerja rodi terpaksa dari para pemerintah kolonial setiap hari Minggu tetapi kaum Kristiani sering terlihat santai Bersama para pemerintah kolonial di gereja. Di gereja, mereka kadang minum kopi bareng dengan para penjajah, sementara muslim pribumi sibuk dengan tanam paksanya di setiap hari Minggu. Belum lagi sikap penganakemasan pemerintah terhadap kalangan Kristen-ProtÂestan di beberapa tempat, meskipun tidak sedikit jumlahnya umat Kristiani membenci dan ikut melawan pemerintah kolonial.
Populer
Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21
Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58
Senin, 08 Desember 2025 | 19:12
Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53
Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08
Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44
Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46
UPDATE
Selasa, 16 Desember 2025 | 12:10
Selasa, 16 Desember 2025 | 12:04
Selasa, 16 Desember 2025 | 11:41
Selasa, 16 Desember 2025 | 11:13
Selasa, 16 Desember 2025 | 11:12
Selasa, 16 Desember 2025 | 11:03
Selasa, 16 Desember 2025 | 10:56
Selasa, 16 Desember 2025 | 10:54
Selasa, 16 Desember 2025 | 10:46
Selasa, 16 Desember 2025 | 10:33