Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai, pesan-pesan yang disampaikan Permenkumham no. 11 tahun 2017 soal bahaya overcrowded atau kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan (lapas), tidak diindahkan sama sekali oleh pihak pemerintah dalam pembahasan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum PiÂdana (RKUHP).
Mirisnya, RKUHP dirancang oleh Kementerian Hukum dan HAM, kementerian yang juga mengkritik masalah overkrimiÂnalisasi RKUHP dan mengeÂluhkan masalah overcrowded dalam lapas.
Direktur Pelaksana ICJR, Erasmus Napitupulu menyebutkan, pada 11 Juli 2017 lalu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) menetapÂkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) no. 11 tahun 2017 tentang Grand Design Penanganan Overcrowded pada Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai upaya menanggulangi kondisi overcrowded pada Rutan dan Lapas.
Kondisi
overcrowded terseÂbut telah mencapai titik yang memprihatinkan. Data Dirjen Pemasyarakatan (PAS) menyaÂtakan, per Januari 2018 jumlah tahanan dan napi yang ada sebanyak 233.662 orang sedangÂkan kapasitas yang mampu diseÂdiakan hanya 124.117 orang.
Artinya Lapas dan Rutan di Indonesia memiliki kelebihan beban kapasitas mencapai 188 persen. Kondisi ini naik 19 persen dari kondisi
overcworded pada Januari 2017 yang saat itu sudah mencapai 169 persen.
"Permenkumham no. 11 taÂhun 2017 itu juga menyoroti tentang Naskah Akademik RKUHP yang menjelaskan bahwa terdapat 146 regulasi peraturan perundang-undangan yang di dalamnya memuat ketentuan pidana," kata Erasmus.
Secara jelas dalam Permenkumham tersebut, Kemenkumham menyatakan bahwa kondisi tersebut berdampak pada penambahan kepadatan hunian di Lembaga Pemasyarakatan.
"Yang paling menarik, secara spesifik Permenkumham no. 11 tahun 2017 juga mengkiritik RKUHP yang hampir semua ancaman pidananya meningkat drastis, beberapa contoh yang disÂebutkan antara lain tindak pidana penghinaan dan tindak pidana zina yang ancaman pidananya mencaÂpai 5 tahun," paparnya.
Selain itu, Permenkumham no. 11 tahun 2017 juga menyaÂtakan bahwa semakin tinggi hukuman, maka penahanan juga akan semakin tinggi dan praktis untuk dilakukan. Hal ini akan berdampak pada semakin tinggi jumlah hunian dibandingkan dengan kapasitas ruang yang tersedia.
"Sayangnya pesan-pesan yang disampaikan oleh Permenkumham No 11 tahun 2017 tersebut tidak diindahkan sama sekali oleh pihak pemerintah dan perumus RKUHP," kritik Erasmus.
Seharusnya pihak pemerintah dan perumus RKUHP berpikir bahwa sistem peradilan pidana merupakan satu rangkaian yang saling terkait. Mulai dari proses penyidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh kejaksaan, pemeriksaan persidangan oleh peradilan termasuk didalamnya proses pemasyarakatan pelaku tindak pidana oleh Dirjen PAS.
Dia menegaskan, paradigma penghukuman yang tidak selaras lagi dengan tujuan pembaharuan hukum Indonesia jelas akan membebankan masalah pada pihak Lapas dan Rutan yang juga sudah dibebani tugas melakukan pembinaan pelaku tindak pidana. "Bagaimana mungkin pembiÂnaan akan efektif jika Lapas dan Rutan mengalami kondisi
overcrowded," tandasnya.
Sebelumnya, Menkumham Yassona Laoly mengatakan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang baru tentang
restorative justice (restorasi keadilan) diharapkan dapat mengurangi beban lapas. "Nanti di RKUHP kita akan ada
restorative justice, ini kita harapÂkan bisa mengurangi," katanya.
Sebagai contoh, hukuman bagi pengguna narkotika harus diubah dari pendekatan pidana ke pendekatan rehabilitasi. Alasannya, penghuni lapas saat ini didominasi narapidana tindak pidana narkotika. "Bayangkan, di Belanda itu kosong penjara. Mengapa? Padahal tidak ada hukuman mati. Karena memang pendekatannya beda, paradigmanya berbeda," ujar Yassona. ***