Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta pemerintah untuk menetapkan regulasi yang tepat mengenai importasi komoditas garam. Petambak garam lokal akan terpukul jika impor dipaksakan. Apalagi, stok garam produksi petani masih melimpah.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto mengatakan, jumlah garam yang diimpor harus sesuai kebutuhan. "Cara ini diambil agar tidak memukul garam rakyat yang diproduksi petambak," ujarnya, kemarin.
Ia mengatakan, impor garam yang tidak sesuai kebutuhan dan regulasi akan berdampak pada kelangsungan usaha dan menjatuhkan harga di petani. "Ini yang sebenarnya menjadi perhatian kami," katanya.
Yugi juga mengkritik perbedaan data mengenai alokasi kuota impor yang diajukan oleh masing-masÂing kementerian. Misalnya hasil rapat impor garam di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menyetujui kuota impor garam industri 2,37 juta ton sedangkan dalam rapat di Kementerian KoorÂdinator Bidang Perekonomian 3,7 juta ton. Sedangkan kuota impor yang diajukan Kementerian KeÂlautan dan Perikanan (KKP) hanya 2,2 juta ton.
"Perbedaan data dapat menimÂbulkan ketidaktepatan regulasi. Harus ada pengkajian lebih jauh, seberapa besar kebutuhan untuk industri dan seberapa besar kebutuhan untuk konsumsi," kata Yugi.
Menurutnya, ketersediaan garam sebagai komponen bahan baku menjadi salah satu faktor penting dalam menunjang keberÂlanjutan produksi dan investasi di sektor industri yang memang terus berkembang. "Selama ini, garam banyak digunakan untuk industri. Mulai dari aneka pangan sampai sabun dan deterjen," tuturnya.
Ia mengungkapkan, keran impor bisa saja dibuka. "Tapi kami harapkan pemerintah tetap memantau pendistribusiannya agar tepat sasaran serta tetap menjaga kestabilan garam petani lokal. Jumlah yang diimpor harus sesuai dengan kebutuhan industri, terutama yang non pangan. Jangan sampai masuk dan beredar di wilayah konsumsi yang selama ini menjadi pasar petani lokal," tukas Yugi.
Ketua Himpunan Masyarakat Petambak Garam Indonesia (HMPGI) Edi Ruswandi memÂpertanyakan sinergitas regulasi terkait importasi garam. MenuÂrutnya, Undang-undang (UU) No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, Petambak Garam tidak dipakai sebagai dasar hukum untuk importasi garam.
"Kalau saja ada pelanggaran hukum dari peraturan hukum yang lebih tinggi, yaitu UU diÂpaksakan maka konsekuensinya sudah tidak benar dan mencedÂerai kedaulatan pangan rakyat Indonesia sendiri," ungkap Edi.
Pihaknya berharap, pemerinÂtah memperhatikan penegakan hukum. Selain itu, pemerintah dapat menjamin tersedianya pasar garam, menciptakan staÂbilitas harga, permodalan yang mudah dan pengawasan yang benar, yang melibatkan unsur Asosiasi/Himpunan.
Berdasarkan catatan HMPGI, stok garam nasional produksi petani garam pada tahun 2017 yang belum terserap pasar tahun ini (awal 2018) menyisakan 25 persen dari total produksi sebeÂsar 1,6 juta ton. HMPGI menilai, dengan jumlah tersebut dapat mencukupi kebutuhan industri dan konsumsi sampai bulan April 2018.
Menurut Edi, keseriusan peÂmerintah untuk dapat menyerap garam petani saat ini belum begitu diperhatikan. Sebaliknya, kata dia, pemerintah cenderung lebih fokus memberikan kebiÂjakan importasi garam sekalipun dapat diduga melanggar UU No.7 Tahun 2016.
"Kedepan, kami harapkan pemerintah memberikan proÂgram solusi mengatasi sektor kekurangan garam nasional dengan membuat suatu kawasan ekonomi terpadu yang dapat menumbuhkan kesejahteraan ekonomi dan memiliki produksi garam yang dapat berdaya saing dengan impor," pungkas Edi.
Direktur Jenderal PerdaganÂgan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan mengaku, pemerintah telah menerbitkan izin impor garam industri sebesar 2,37 juta ton untuk tahun ini. Izin impor diberikan kepada 21 industri pengguna garam dalam negeri.
Ia mengungkapkan, izin diberiÂkan karena garam produksi petani dalam negeri masih belum meÂmenuhi kebutuhan industri. "Kita terbitkan izin seperti untuk indusÂtri kertas, jika tidak produksinya berhenti," ujarnya. ***