Pemerintah diharapkan bisa memberikan insentif khusus untuk industri rumput laut lokal. Insentif tersebut perlu diberikan agar daya saing industri rumput laut dalam negeri bisa meningkat.
Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) Safari Azis mengatakan, insentif diperÂlukan agar upaya hilirisasi dan peningkatan daya saing industri pengolahan dalam negeri bisa tercapai. "Pemerintah bisa memÂberikan insentif khusus terhadap industri, menghilangkan ekonomi biaya tinggi juga," ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurutnya, pemerintah berÂperan penting dalam upaya harmonisasi hulu hilir. "Kami berharap agar pemerintah dapat melindungi keberlangsungan budidaya dan produksi rumput laut," tegasnya.
Industri pun sebaiknya meningÂkatkan teknologi pengolahan agar lebih efisien. Kalangan industri juga harus menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang hanÂdal serta menciptakan jaringan pemasaran yang lebih baik.
Selain itu, industri dalam negeri mulai merintis kebun inti dan lebih aktif menjalin kemitraan untuk kepastian bahan baku. Pasalnya, lahan untuk pengembangan budidaya masih terbentang luas.
Saat ini serapan rumput laut petani oleh para pelaku industri pengolahan dalam negeri masih rendah. Hal tersebut dikarenakan daya saing industri lokal yang masih harus ditingkatkan.
"Bahan baku rumput laut banyak tersedia, kita salah satu negara penghasil rumput laut terbesar di dunia. Namun sejauh ini memang banyak diekspor, masih kecil diserap oleh industri lokal," ungkapnya.
Menurut dia, industri pengolaÂhan dalam negeri harus mampu meningkatkan daya saingnya dan mendukung pengembangan komoditas rumput laut. Tidak hanya dari sisi hilirnya saja, tetapi juga mulai dari sektor hulunya.
"Harmonisasi hulu hilir harÂus terjaga. Kita tentu mengÂharapkan hilir bisa menyerap, namun ternyata kemampuan untuk itu masih kecil, sehingga pelaku rumput laut lebih banyak mengekspornya ke luar karena Industri negara lain lebih siap menyerap rumput laut petani lokal," ujarnya.
Menurutnya, pelaku industri pengolahan lokal harus mampu bersaing dan menyesuaikan pula dengan harga yang berlaku di pasar internasional. "Saat ini harga di dunia sudah transparan, para petani pun sudah tahu dan dapat dengan mudah mengakÂsesnya," tuturnya.
Direktur Jenderal Industri Argo di Kementerian PerindusÂtrian (Kemenperin) Panggah Susanto mengatakan, pasokan sumber daya alam rumput laut dari Indonesia untuk pasar dunia jumlahnya begitu besar. "SebanÂyak 85 persen rumput laut di dunia itu berasal dari Indonesia," ujarnya.
Sayang, Indonesia masih menÂgalami permasalahan dalam, yaitu adanya ekspor rumput laut ke luar negeri yang mencapai 68 persen. Sementara pemenuhan dalam negeri hanya 32 persen dari produksi rumput laut naÂsional. "Ini mengakibatkan inÂdustri pengelolaan rumput laut dalam negeri kekurangan bahan baku," ujarnya.
Tak hanya itu, industri rumput laut dalam negeri juga menjadi kalah bersaing untuk mendapatÂkan bahan baku dengan industri luar negeri, seperti China misalÂnya. Apalagi industri rumput laut di China mendapatkan fasilitas dari negaranya.
Panggah menambahkan, poÂtensi pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia tersebar di 23 provinsi. "Untuk budi daya rumput laut jenis Eucheuma dan Gracilaria tersebar di 17 provinsi," ungkapnya. ***