Keputusan Parlemen Uni Eropa yang menyetujui penghapusan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) sebagai salah satu bahan baku biofuel membuat pengusaha sawit Indonesia kelimpungan. Kebijakan tersebut akan membuat penjualan ekspor melempem. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita kudu ambil sikap tegas.
Parlemen Eropa setelah menyetujui proposal undang-undang yang akan diajukan ke Menteri Uni Eropa mengenai penggunaan energi terbarukan. Salah satunya kebijakan yang dihasilkan ada menghapus CPO sebagai salah satu bahan dasar biofuel. Keputusan diambil melalui voting Anggota ParleÂmen Eropa (MEP) pada Rabu, pekan lalu.
Dalam penjelasannya, proÂposal tersebut menyebutkan bahwa minyak sawit dianggap menjadi salah satu dalam proses deforestasi. Proposal tersebut juga menyebutkan bahwa pengÂgunaan sawit di Uni Eropa akan berakhir pada 2021, yang menÂjadi periode awal diterapkannya undang-undang konsumsi energi Eropa yang baru.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit InÂdonesia (Gapki) Fadhil Hasan mengatakan, keputusan tersebut akan membuat kinerja ekspor sawit Indonesia melempem. "Dampaknya pasti ekspor yang berkurang," ujarnya kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Ia mengatakan, saat ini penguÂsaha mulai kebingungan mencari pasar baru untuk menggantikan Uni Eropa. Dari sekarang penÂgusaha sudah mulai pasar baru agar ekspor bisa tetap berjalan. Tapi belum ada.
Menurutnya, keputusan terseÂbut sebenernya justru hanya akan merugikan Uni Eropa jika tetap dilaksanakan. "Ini keputuÂsan sembrono sebenarnya. Kalau penggunaan biodiesel dari CPO ini dihilangkan nanti yang mengÂgantikan itu apa?" ungkapnya.
Pihaknya mengapresiasi kepuÂtusan pemerintah Indonesia yang cepat merespon masalah ini. "Kami dukung pemerintah yang mengirim surat protes. KeputuÂsan parlemen Uni Eropa inikan diskriminatif," katanya.
Ia mengatakan, hingga kini pengusaha masih mencari solusi terbaik agar masalah ini bisa segera selesai dan menguntungÂkan kedua belah pihak. "Kami terus berupaya mencari solusi bersama pemerintah. Semoga masalah ini tidak menghambat pertumbuhan industri sawit InÂdonesia," tukasnya.
Sekjen Gapki Togar SitangÂgang memastikan, kinerja ekÂspor sawit ke Uni Eropa akan tersendat jika keputusan tersebut dilaksanakan. "Pasokan ke Uni Eropa pasti akan berkurang. Ini membuat khawatir. Artinya kita harus mencari pasar baru," ujarnya.
Ia mengatakan, dampaknya lanjutan dari keputusan tersebut adalah harga CPO yang akan turun. "Kalau kinerja ekspor lemah berarti nanti stok meÂlimpah dan akan menekan harga komoditas," tuturnya.
Produksi CPO pada tahun ini diprediksi akan meningkat 15 persen dibanding tahun lalu. Kenaikan itu karena ekspor juga naik dari 23 juta ton pada 2016 menjadi 29 juta ton pada 2017.
Sementara ekspor pada tahun ini diharapkan mencapai 31 juta ton. "Kalau keputusan tersebut dilaksanakan mungkin ekspor akan berkurang. Tapi diharapÂkan tetap bisa mencapai target dengan pasar baru nantinya," tuturnya.
Direktur
Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal meminta, peÂmerintah untuk memanfaatkan perundingan antara RI dan Uni Eropa dalam
Comprehensive Economic Partnership AgreeÂment (CEPA). "Melalui peÂrundingan tersebut, pemerintah dapat memastikan komoditas apa yang dapat diimpor ke sana," ujarnya.
Ia mengatakan, pemerintah patut mempertegas komoditas pengganti untuk dimasukan ke kawasan itu jika CPO benar-benar di larang. "Pemerintah juga harus melakukan perluasan ke negara-negara yang masih menerima minyak kelapa sawit. Kemudian juga dapat memÂperluas pasar hingga ke negara nontradisional," tuturnya.
Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengaku, tak khawatir jika Eropa menjegal ekspor CPO asal Indonesia. "Kami tidak khawatir ekspor CPO ke Uni Eropa diblok. Yang kami lakukan sekarang, diÂversifikasi produk ekspor, buka pasar baru," ujarnya.
Menurut Enggar, Eropa bakal kesulitan jika kebijakannya menutup pintu masuk bagi produk minyak kelapa sawit diterapkan. Pasalnya, selama ini, kebutuhan CPO Eropa sangat tinggi.
Enggar mencontohkan, peÂrusahaan asal Eropa Unilever misalnya, masih membutuhÂkan CPO untuk memproduksi sabun. Tidak mungkin, Uni Eropa menghentikan ekspor CPO yang masuk ke negara-negara Eropa. ***