Berita

Fuad Bawazier/Net

Bisnis

Klaim Sukses Sebelum Crash

MINGGU, 21 JANUARI 2018 | 09:38 WIB | OLEH: FUAD BAWAZIER

PRAKTIS semua penguasa di dunia selalu mengklaim ekonomi makro yang tengah terjadi adalah keberhasilan dan policy ekonomi pemerintahannya. Itulah enaknya berargumentasi dalam ekonomi makro, yaitu sang penguasa selalu klaim sukses sebelum terjadi crash atau krisis ekonomi.

Bahkan menjelang krsisis moneter (krismon) dahsyat pada tahun 1997, pemerintah masih lantang mengatakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia kuat dan karenanya menjamin Indonesia tidak akan terkena krisis. Dengan jaminan para ekonom Mafia Berkeley itu, Presiden Soeharto merasa aman dan senang.

Tapi itulah perilaku penguasa ekonomi di hampir seluruh dunia yang cenderung tidak mau mengakui kegagalan. Selalu klaim dirinya hebat dan sukses sampai benar-benar terjadi krisis ekonomi sehingga tidak bisa lagi berkelit.


Ketika sedang berkuasa dan sebenarnya mereka mengetahui ekonomi makro yang menjadi tanggungjawabnya dalam kondisi babak belur dan menuju krisis para penguasa ekonomi itu selalu berharap agar krisis terjadi setelah ganti rezim. Lalu penguasa itu berkicau tentang kesuksesan palsu pada zamannya.

Nampaknya itulah yang sedang terjadi pada masa pemerintahan Jokowi-JK dimana para pejabat ekonominya suka bersilat lidah demi pencitraan dirinya di mata Presiden maupun publik. Data ekonomi makro di plintir dan disalah tafsirkan, dibaca sepotong-potong, dibandingkan dengan sesuatu yang tidak relevan, dan sebagainya yang penting agar pejabat ekonomi tetap nampak hebat dan sukses.

Jangankan data yang bersifat kualitatif, data kuantitatif-pun dapat mereka tafsirkan dan warnai sesukanya, yang penting klaim sukses. Tax Amnesty 2016 misalnya yang jelas-jelas tidak mencapai target uang tebusan sebesar Rp 165 Triliun maupun dana repatriasi Rp1000 Triliun, tetap saja diklaim sebagai Tax Amnesty yang sukses dan bahkan yang paling sukses di dunia.

Atau APBN yang berturut-turut sejak 2015, 2016, dan 2017 gagal mencapai target resmi menurut undang-undang APBN. Pertumbuhan ekonomi yang selalu di bawah target atau pendapatan negara yang jauh dari targetnya, tapi tetap membusungkan dada dengan mengklaim bahwa realisasinya lebih baik di bandingkan ini dan itu yang sebenarnya bukan data pembanding resminya.

Apalagi dengan data yang bersifat kualitatif seperti janji swasembada beras yang ternyata selama Jokowi berkuasa tiap tahun impor beras. Padahal dalam kenyataannya pelan tapi pasti ada pergeseran dari beras ke gandum sehingga impor gandum terus meningkat.

Demikian juga dalam berbagai pernyataan politik ekonomi makro, seperti peningkatan kemandirian ekonomi yang ternyata semakin tidak mandiri. Sedangkan target-target kuantatif seperti peningkatan tax ratio, perbaikan debt service ratio, dan penurunan debt ratio tidak ada yang tercapai bila kita menggunakan target resmi seperti APBN dan RPJM.

Untuk tidak dikatakan gagal, target-target resmi tadi disingkirkan dan digunakanlah pembanding bebas yang bisa menunjukkan Tim Ekonomi Pemerintah berhasil. Rupanya inilah yang sedang terjadi pada masa Pemerintahan Jokowi-JK dimana para pejabat ekonominya suka berpolitik demi pencitraan di muka Presiden dan dimata publik.

Data ekonomi makro memang mudah diplintir dan disalahtafsirkan, dibaca sepotong-potong, dibandingkan dengan sesuatu yang tidak relevan dan sebagainya yang penting bisa berargumentasi ekonomi sukses. Sebenarnya Presiden Jokowi sendiri merasa ada yang salah dengan jalannya ekonomi atau Tim Ekonominya seperti ketika Jokowi menanyakan bila semuanya oke, kenapa ekonomi tidak berjalan cepat? Atau ketika Presiden mengatakan bahwa anggaran pemulangan TKI yang sebenarnya cukup Rp 500 juta tapi dianggarkan Rp 3 miliar, yang mencerminkan betapa besarnya pemborosan APBN.

Tim Ekonomi Pemerintah, bila perlu menggunakan media dalam dan luar negeri untuk membeli predikat-predikat pujian. Tidak cukup di media, biasanya para pejabat ekonomi Indonesia juga menggunakan jasa-jasa konsultan internasional untuk menjaga citra kesuksesan palsunya. Para konsultan ini diberi projek-projek study berkedok reformasi dan modernisasi seperti tax administration reform, government accounting reform, budget reform dan sebagainya yang hasilnya amat mengecewakan.

Ketika semua upaya manipulasi itu sudah jenuh dan akhirnya terjadi krisis para ekonom akan berpindah kapal untuk menyelamatkan karirnya seperti yang terjadi saat Soeharto lengser. Pertanyaannya, apa yang patut dicemaskan dalam perkembangan ekonomi makro Indonesia yang berpotensi menimbulkan krisis?

Seperti kejadian Krismon 1997/1998 maupun krisis di banyak negara lain, utang adalah sumber utama terjadinya krisis. Pada krisis 1997/1998 sumber utamanya adalah utang swasta yang melampaui kekuatan bayarnya dengan menyalahgunakan fasilitas-fasilitas perbankan yang disediakan Bank Central (BI). Untungnya pada saat itu utang negara masih sedikit, terkendali dan sehat. Sehingga negara mampu memberikan pertolongan pada pihak swasta dan perbankan yang nyaris runtuh.

Keadaan sekarang 2018 justru utang negara yang berpotensi jadi sumber krisis karena meningkat tajam sementara pendapatan negara praktis stagnan. Pada tahun 2017 penerimaan pajak hanya mencapai 88,4 persen atau Rp1.097 Triliun dari target Rp1.284 Triliun padahal target 2017 ini adalah Rp110 Triliun di bawah target 2016 yang Rp1.394 Triliun. Pertumbuhan realisasi penerimaan perpajakan 2013 – 2016 rata-rata hanya 7 persen dan nampaknya kedepan pertumbuhan ini sulit untuk ditingkatkan.

Utang valuta asing Indonesia (publik dan swasta) per akhir November 2107 USD347 Miliyar atau tumbuh 9,1 persen (yoy) tetapi pertumbuhan utang valas negara tumbuh 14,3 persen. Rasio utang valas ini adalah 34 persen dari PDB. Utang-utang valas ini umumnya untuk membiayai projek-projek yang kelak akan menghasilkan rupiah sehingga perlu di waspadai adanya mismatch ini.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan utang Pemerintah per-September 2017 sebesar Rp 3.866 Triliun yang terdiri dari pinjaman multilateral/bilateral Rp 738 Triliun, SBN valas Rp849 Triliun dan SBN rupiah Rp 2.279 triliun.

Jadi persoalan utamanya bukan pada besarnya utang negara khususnya utang luar negeri negara ataupun rasio utang terhadap PDB tetapi pada kemampuan pendapatan negara khususnya pajak untuk memenuhi kewajiban pembayaran atas utang negara tersebut. Gap antara pertumbuhan penerimaan negara dengan pertumbuhan utang itulah masalah kritis utama keuangan negara dalam 3 (tiga) tahun ke depan.[***]


Penulis merupakan ekonom senior

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Sisingamangaraja XII dan Cut Nya Dien Menangis Akibat Kerakusan dan Korupsi

Senin, 29 Desember 2025 | 00:13

Firman Tendry: Bongkar Rahasia OTT KPK di Pemkab Bekasi!

Minggu, 28 Desember 2025 | 23:40

Aklamasi, Nasarudin Nakhoda Baru KAUMY

Minggu, 28 Desember 2025 | 23:23

Bayang-bayang Resesi Global Menghantui Tahun 2026

Minggu, 28 Desember 2025 | 23:05

Ridwan Kamil dan Gibran, Dua Orang Bermasalah yang Didukung Jokowi

Minggu, 28 Desember 2025 | 23:00

Prabowo Harus jadi Antitesa Jokowi jika Mau Dipercaya Rakyat

Minggu, 28 Desember 2025 | 22:44

Nasarudin Terpilih Aklamasi sebagai Ketum KAUMY Periode 2025-2029

Minggu, 28 Desember 2025 | 22:15

Pemberantasan Korupsi Cuma Simbolik Berbasis Politik Kekuasaan

Minggu, 28 Desember 2025 | 21:40

Proyeksi 2026: Rupiah Tertekan, Konsumsi Masyarakat Melemah

Minggu, 28 Desember 2025 | 20:45

Pertumbuhan Kredit Bank Mandiri Akhir Tahun Menguat, DPK Meningkat

Minggu, 28 Desember 2025 | 20:28

Selengkapnya