Berita

Nasaruddin Umar/Net

Pancasila & Nasionalisme Indonesia (154)

Mendalami Sila Kelima: Memberdayakan Kearifan Lokal...

KAMIS, 18 JANUARI 2018 | 09:52 WIB | OLEH: NASARUDDIN UMAR

BAGI bangsa Indonesia, keari­fan lokal bagian yang tak terpisahkan dalam upaya menciptakan keadilan sosial. Budaya tenggang rasa, tepo seliro, padaidi-padaelo, dan akronim solidaritas sosial lainnya sangat kaya dalam masyarakat kita. Kearifan lokal (local wisdom) betul-betul merupakan modal sosial dalam menata masyarakat yang berkea­dilan. Sesungguhnya banyak sekali persoalan bisa diselesaikan melalui pendekatan kearifan lokal. Kearifan lokal terbukti memberikan solusi permanen sejumlah persoalan lokal dan regional. Di antara kearifan lokal itu ialah adat istiadat dan hukum adat (living low). Adat istiadat lebih merupakan sistem nilai yang sifatnya lebih abstrak. Sedangkan hukum adat sudah menjadi norma-norma sosial kemasyarakatan yang memiliki reward dan punishment. Hukum adat di dalam lintasan masyarakat Nusantara sudah sekian lama mengabdikan diri menyelesaikan sejumlah persoalan di dalam masyarakat, termasuk di da­lamnya ke konflik horizontal, baik yang bertema etnik maupun agama.

Ribuan pulau dengan berbagai etnik dalam wilayah NKRI hampir semuanya memiliki kearifan lokalnya masing-masing. Kearifan itu sendiri be­rasal dari bahasa Arab dari akar kata 'arafa-ya'rifu berarti memahami atau menghayati, kemudian membentuk kata "kearifan" yang bisa diartikan dengan sikap, pemahaman, dan kesadaran yang tinggi terhadap sesuatu. Kearifan adalah kebe­naran yang bersifat universal sehingga jika dita­mbahkan dengan kata lokal maka bisa mereduksi pengertian kearifan itu sendiri. Setiap kali kita berbicara tentang kearifan maka setiap itu pula kita berbicara tentang kebenaran dan nilai-nilai universal. Menentang kearifan lokal berarti meno­lak kebenaran universal. Kebenaran universal itu sesungguhnya akumulasi dari nilai-nilai kebenaran lokal. Kita tidak tepat memperhadap-hadapkan antara kearifan lokal dan kebenaran universal, karena tidak ada kebenaran universal tanpa kearifan lokal.

Mungkin itu sebabnya di dalam Al-Qur'an dis­ebutkan bahwa: "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung". (Q.S. Ali 'Imran/3:104): Untuk urusan kebaikan Allah menggunakan kata menyerukan (yad'una) dan untuk kata makruf digunakan istlah menyuruh (ya'muruna). Kata makruf (ma'ruf) dapat disinonimkan dengan keari­fan yang disepakati kebenarannya oleh umumnya komunitas. Sedangkan kebaikan (al-khair) adalah kebenaran yang belum serta-merta diterima oleh sebagian orang non Islam.


Kearifan lokal tidak serta-merta diterima sebagai kebenaran universal melainkan harus menunggu waktu yang cukup lama untuk diakui sebagai kearifan bangsa, yang melintasi sejumlah nilai-nilai etnik. Contoh kearifan lokal ialah gotong royong menyelesaikan sarana umum, toleransi dalam merayakan seremoni keagamaan, urun rembug (musyawarah) di dalam menentukan pemimpin, dan menyerahkan kepada lembaga adat untuk menyelesaikan konflik. Dalam era globalisasi saat ini kearifan lokal semakin diperlukan.

Bukan saja untuk objek promosi wisata tetapi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tertentu yang tidak bisa diselesaikan dengan baik oleh hu­kum formal kita. Kearifan lokal juga bisa menyele­saikan konflik yang bertema keagamaan. Biasanya para pihak yang bertikai mempunyai agama, aliran, dan mazhab yang berbeda tetapi memiliki budaya leluhur yang sama. Budaya luhur inilah berpotensi menjembatani para pihak yang bertikai.

Yang menjadi masalah sekarang ialah belum semua keraifan lokal menjadi kearifan univer­sal dalam kehidupan berbangsa tetapi sudah mulai tergerus oleh nilai-nilai modernitas yang berasal dari luar, yang sesungguhnya adalah 'kearifan lokal' dari satu negara atau bangsa lain. Tergerusnya kearifan lokal sesungguhnya da­pat dicegah seandainya kita memiliki sistem dan strategi budaya yang lebih baik. Bangsa kita yang sedemikian luas, pluralistis, dan berada di posisi silang secara geografis, sangat lebih memerlukan startegi pengembangan budaya ke depan. Tanpa strategi pengembangan budaya maka kita akan menjadi bangsa yang beridentitas tidak jelas dan dengan sendirinya kekurangan nilai tawar.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

Kapolda Metro Buka UKW: Lawan Hoaks, Jaga Jakarta

Selasa, 16 Desember 2025 | 22:11

Aktivis 98 Gandeng PB IDI Salurkan Donasi untuk Korban Banjir Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:53

BPK Bongkar Pemborosan Rp12,59 Triliun di Pupuk Indonesia, Penegak Hukum Diminta Usut

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:51

Legislator PDIP: Cerita Revolusi Tidak Hanya Tentang Peluru dan Mesiu

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:40

Mobil Mitra SPPG Kini Hanya Boleh Sampai Luar Pagar Sekolah

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:22

Jangan Jadikan Bencana Alam Ajang Rivalitas dan Bullying Politik

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:19

Prabowo Janji Tuntaskan Trans Papua hingga Hadirkan 2.500 SPPG

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54

Trio RRT Harus Berani Masuk Penjara sebagai Risiko Perjuangan

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54

Yaqut Cholil Qoumas Bungkam Usai 8,5 Jam Dicecar KPK

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:47

Prabowo Prediksi Indonesia Duduki Ekonomi ke-4 Dunia dalam 15 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:45

Selengkapnya