Berita

Nasaruddin Umar/Net

Pancasila & Nasionalisme Indonesia (153)

Mendalami Sila Kelima: Membiarkan Kedhaliman

SELASA, 16 JANUARI 2018 | 09:07 WIB | OLEH: NASARUDDIN UMAR

MEMBIARKAN terjadinya kezaliman di dalam masyarakat jelas tidak sejalan dengan Pancasila, UUD 1945, dan ajaran agama yang dianut di Indonesia. Perlakuan semena-mena yang jelas-jelas melangg­gar hukum dan perundang-undangan, termasuk bagian dari kezaliman. Jika hal itu didiamkan, apalagi dibenarkan maka jelas sebuah pelanggaran berat dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Pembiaran dan pendiaman kezaliman, ke­sewenang-wenangan, dan keresahan yang terjadi di dalam masyarakat dapat dikenakan pasal berlapis, khususnya pasal ujaran keben­cian (religious hate speech/RHS). Seorang tokoh yang sangat berpengaruh dan san­gat didengarkan suaranya oleh masyarakat, baik kapasitasnya sebagai tokoh agama, to­koh adat, atau tokoh pemerintahan, melaku­kan pembiaran terhadap sebuah kezaliman, tirani, dan anarkisme yang terjadi di dalam masyarakat, bisa diartikan sama dengan RHS atau jenis pelanggaran hukum lainnya.

Bilamana di tengah masyarakat terjadi anarkisme terhadap kelompok agama atau kepercayaan minoritas oleh kelompok main­stream atau kelompok mayoritas, lalu to­koh masyarakat tersebut bersikap diam, tidak menegur dan tidak mencegah ang­gota masyarakat itu melakukan anarkisme dan penzaliman, maka jelas ini dapat disebut sebagai RHS. Meskipun ia tidak melakukan ujaran kebencian (hate-speech) tetapi sikap melakukan pembiaran terhadap orang yang melakukan RHS dapat ditafsirkan merestui atau mendukung secara diam RHS. Ia sesungguhnya bisa mencegah terjadinya anarkisme itu seandainya ia menyerukan larangan terhadap warganya, namun ia diam dan karena diamnya ditafsirkan sebagai ben­tuk persetujuan makan terjadilah anarkisme itu.

Seseorang dapat dilakukan turut ser­ta melakukan perbuatan pidana manakala seseorang memiliki kapasitas untuk mence­gah perbuatan tersebut. Dalam skala tertentu melakukan pembiaran orang untuk melaku­kan RHS, padahal ia memiliki kapasitas mencegahnya, maka sikap diamnya itu da­pat disamakan turut serta melakukan RHS. Sikap diam tersebut bisa dianggap "dukungan diam" terhadap RHS. Bahkan sikap diam tersebut bisa dibaca sebagai intellectual actor terhadap RHS. Memang tidak mudah menja­di tokoh masyarakat, karena ucapan dan di­amnya dapat dianggap perbuatan hukum.


Berbeda dengan orang awam atau ang­gota masyarakat biasa, ucapannya saja tidak didengar apalagi diamnya. Dalam Islam, kezaliman, kejahatan, dan kebatilan dalam bentuk apapun, menjadi kewajiban setiap orang untuk mencegahnya. Nabi Muhammad Saw pernah mengingatkan dalam sebuah hadisnya: Jika kalian menyaksikan kezali­man atau kemungkaran maka cegahlah den­gan kekuatan tangannya (the power). Jika tidak punya kekuatan maka cegahlah dengan seruan atau mulutnya. Jika juga masih belum berdaya cegahlah di dalam bentuk protes ba­tin atau doa, dan inilah manifestasi iman lebih rendah. Dalam Al-Qur'an juga berkali-kali Al­lah Swt mengingatkan kepada umat manu­sia untuk melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar. Jika ada orang melakukan pembi­aran terhadap sebuah kejahatan padahal ia memiliki kemampuan mencegahnya maka itu termasuk perbuatan dosa dan tindakan mela­wan hukum.

Ujaran kebencian dapat diukur bukan han­ya dalam bentuk ucapan; baik ucapan melalui bahasa mulut, tulisan, atau mimik, tetapi juga sikap diam atau acuh terhadap RHS itu. Da­lam skala lebih luas sesungguhnya pemimpin ormas keagamaan tidak boleh diam di dalam menyaksikan warganya melakukan RHS. Pemimpin ormas, khususnya pemerintah, harus berani berbicara (speak-out) untuk mencegah terjadinya RHS, dan tindakan lain yang dapat dikategorikan pembiaran kezali­man. ***

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

Kapolda Metro Buka UKW: Lawan Hoaks, Jaga Jakarta

Selasa, 16 Desember 2025 | 22:11

Aktivis 98 Gandeng PB IDI Salurkan Donasi untuk Korban Banjir Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:53

BPK Bongkar Pemborosan Rp12,59 Triliun di Pupuk Indonesia, Penegak Hukum Diminta Usut

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:51

Legislator PDIP: Cerita Revolusi Tidak Hanya Tentang Peluru dan Mesiu

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:40

Mobil Mitra SPPG Kini Hanya Boleh Sampai Luar Pagar Sekolah

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:22

Jangan Jadikan Bencana Alam Ajang Rivalitas dan Bullying Politik

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:19

Prabowo Janji Tuntaskan Trans Papua hingga Hadirkan 2.500 SPPG

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54

Trio RRT Harus Berani Masuk Penjara sebagai Risiko Perjuangan

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54

Yaqut Cholil Qoumas Bungkam Usai 8,5 Jam Dicecar KPK

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:47

Prabowo Prediksi Indonesia Duduki Ekonomi ke-4 Dunia dalam 15 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:45

Selengkapnya