Berita

Nasaruddin Umar/Net

Pancasila & Nasionalisme Indonesia (145)

Mendalami Sila Kelima: Mengeliminir Kelompok Mustadh'afin

SENIN, 08 JANUARI 2018 | 08:12 WIB | OLEH: NASARUDDIN UMAR

MUSTADH'AFIN berasal dari Bahasa Arab, dari akar kata dha'afa-yadh'ifu berarti lemah, tidak berdaya, dan tidak mampu. Mereka bukan berarti tidak bekerja bahkan mungkin berkeringat tetapi nasib mereka tetap terping­girkan di dalam masyarakat. Mungkin karena mereka tidak punya keter­ampilan, penyandang cacat dan atau mender­ita penyakit tertentu, atau ada sebab lain yang membuat mereka jatuh miskin dan tidak berda­ya. Yang pasti bahwa mustadh’afin kelompok masyarakat yang terpinggirkan karena ada fak­tor internal dan eksternal dirinya. Kelompok ini jelas bukan hanya tanggung jawab negara atau pemerintah, tetapi semua pihak harus bertang­gung jawab untuk mengeliminir kelompok ini.

Selama populasi kelompok mustadh’afin masih tinggi maka selama itu kesempurnaan keberagamaan masih dipertanyakan. Bahkan di dalam Al-Qur’an ada surah khusus yang mengancam orang-orang yang tidak prihatin terh­adap kelompok ini, yaitu Q.S. al-Ma'un: "Tahu­kah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat ria. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna." (Q.S. al-Ma’un/107:1-7).

Bahasa agama yang sering digunakan un­tuk membela kaum yang tertindas, terdhali­mi, termarginalisasi, dan kaum miskin ialah mustadh'afin. Kaum mustadh'afin muncul seba­gai kelas khusus di dalam masyarakat yang ser­ing dipolitisasi. Di dalam Q.S. Al-Ma’un tersebut cukup jelas dan gamblang menjelaskan siapa sesungguhnya kelompok mustadh’afin yang membutuhkan perhatian semua pihak. Dalam ayat di atas setidaknya disebutkan dua kriteria universal yaitu yatim dan miskin.


Dalam kitab-kitab Tafsir dijelaskan bahwa ya­tim sesungguhnya bukan hanya anak yang dit­inggal mati oleh ayahnya waktu masih kecil, se­bagaimana dirumuskan di dalam kitab-kitab fikih klasik. Dengan merujuk kepada kamus bahasa Arab paling advanced, "Lisan al-'Arab", salah­satu versinya 12 jilid, menjelaskan makna yatim yaitu adanya keterpisahan antara sesuatu den­gan sesuatu yang lain (al-inqitha' 'an al-syai'). Anak yatim disebut yatim karena ditinggalkan oleh pelindung utamanya, yaitu figur ayah. Bahkan dalam pengertiannya yang lain semua orang yang membutuhkan perhatian dan perto­longan adalah yatim. Termasuk pengertian lain­nya ialah orang yang belum memiliki pasangan hidup. Yang kedua ialah miskin. Dalam Lisan al-'Arab disebutkan dua pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah, miskin lebih parah daripa­da faqir. Sebaliknya menurut Imam Syafi', faq­ir lebih parah daripada miskin. Baik faqir atau miskin sama saja. Di Indonesia kedua konsep itu sering dijadikan kata majmuk yaitu faqir-mis­kin. Berbeda dengan pengertian yang pernah dirumuskan BAPPENAS yang mengelompok­kan kemiskinan itu kepada tiga kategori, yaitu kemiskinan natural, yakni mereka menjadi mis­kin karena musibah seperti orang-orang yang mengalami kebakaran, tsunami, dan lain-lain. Kelompok kedua kemiskinan kutural, yaitu kemiskinan yang bersifat budaya, yaitu mere­ka yang termanjakan oleh kesuburan dan ke­kayaan alam atau lingkungan keluarga. Mer­eka bekerja secara tanggung, tidak maksimal, karena harapannya masih bertumpu kepada kekayaan orang tua atau keluarga. Kelom­pok ketiga yaitu kemiskinan struktural, yak­ni mereka yang miskin bukan karena malas atau kena mushibah tetapi mereka tidak pu­nya modal usaha dan keterampilan, akhirnya mereka hanya mengandalkan otot, bukannya otak dan profesionalisme. Kelompok ini dap­at diatasi dengan tiga pendekatan. Satu kel­ompok dinilai lebih tepat diberi ikan, karena sudah masuk kategori miskin darurat. Kedua ada yang diberi pancing, bukan ikan, karena kondisinya sudah memungkinkan untuk itu. Kelompok ketiga mereka yang sudah layak diberi perahu dan selanjutnya bisa melibat­kan orang lain di dalam perahu itu di dalam menyelesaikan problem kemiskinannya.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

Kapolda Metro Buka UKW: Lawan Hoaks, Jaga Jakarta

Selasa, 16 Desember 2025 | 22:11

Aktivis 98 Gandeng PB IDI Salurkan Donasi untuk Korban Banjir Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:53

BPK Bongkar Pemborosan Rp12,59 Triliun di Pupuk Indonesia, Penegak Hukum Diminta Usut

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:51

Legislator PDIP: Cerita Revolusi Tidak Hanya Tentang Peluru dan Mesiu

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:40

Mobil Mitra SPPG Kini Hanya Boleh Sampai Luar Pagar Sekolah

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:22

Jangan Jadikan Bencana Alam Ajang Rivalitas dan Bullying Politik

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:19

Prabowo Janji Tuntaskan Trans Papua hingga Hadirkan 2.500 SPPG

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54

Trio RRT Harus Berani Masuk Penjara sebagai Risiko Perjuangan

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54

Yaqut Cholil Qoumas Bungkam Usai 8,5 Jam Dicecar KPK

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:47

Prabowo Prediksi Indonesia Duduki Ekonomi ke-4 Dunia dalam 15 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:45

Selengkapnya