Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat industri baja tahun ini mulai bangkit, didorong maraknya pembangunan proyek infrastruktur.
Direktur Industri Logam Kemenperin Doddy Rahadi mengatakan, pada tahun ini terÂdapat lima sektor industri yang tercatat memiliki pertumbuhan cukup tinggi, yaitu industri logam dasar yang mencatat pertumbuhan tertinggi pada 10,6 persen. Kemudian diikuti industri industri makanan dan minuman 9,49 persen, industri kimia dan farmasi 8 persen, industri mesin dan perlengkapan tumbuh 6,35 persen, dan industri alat angkut tumbuh 5,6 persen.
Menurut dia, industri baja diperkirakan akan terus tumbuh dengan rata-rata 6 persen per tahun sampai dengan 2025. "Hal ini dipicu oleh tingginya permintaan bahan baku untuk sektor konstruksi yang tumbuh 8,5 persen, diikuti sektor otoÂmotif yang tumbuh 9,5 persen," ujarnya kepada Rakyat Merdeka, pekan lalu.
Kebutuhan baja Indonesia saat ini sebanyak 78 persen masih diÂdominasi oleh sektor konstruksi, yang diikuti oleh sektor otomotif sebesar 8 persen, dan sisanya 14 persen berasal dari sektor oil & gas, shipbuilding, permesinan dan industri elektronik. KemamÂpuan suplai industri baja (crude steel) dalam negeri sebesar 6,8 juta ton per tahun.
Karena itu, Indonesia masih harus mengimpor sebanyak 5,4 juta ton untuk memenuhi kebuÂtuhan yang mencapai 12,94 juta ton per tahun. Kebutuhan baja yang meningkat setiap tahunÂnya harus diimbangi dengan tumbuhnya investasi baru di Indonesia, karena apabila tidak di maka ketergantungan terhÂadap produk baja impor akan semakin tinggi.
"Namun, impor itu akan berkurang secara bertahap denÂgan banyaknya investasi baja yang masuk," ujarnya.
Menurut dia, salah satu inÂvestasi yang baru masuk adalah Sango Corp. Perusahaan ini menggandeng Krakatau Steel membuat baja untuk memasok kebutuhan otomotif yang seÂlama ini lebih banyak diimpor. Apalagi investasinya juga besar mencapai 95 juta dolar AS. "Ini menghemat devisa dan keterganÂtungan impor," tukasnya.
Sekjen Kemenperin Haris Munandar mengatakan, industri logam nasional sangat menarik di mata investor asing, terutama China. Industri ini sangat potenÂsial, karena ditopang stok bahan baku yang melimpah.
Menurut Haris, China membuÂtuhkan bahan baku logam untuk keperluan industri. Pelarangan ekspor mineral mentah yang diÂlakukan selama beberapa tahun terakhir mendorong investor China masuk Indonesia.
"Dengan adanya larangan ekÂpor mineral membuat China keÂsulitan bahan baku. Mereka pun berbondong-bondong investasi di Indonsia," ujarnya.
Saat ini, menurut Haris, keÂbanyakan investor asing masih masuk di sektor pengolahan hulu. Mereka belum banyak masuk industri antara dan hilir. Oleh sebab itu, pemerintah harus menarik lebih banyak investasi untuk mengembangkan sektor antara dan hilir.
Menurut dia, investor China juga kebanyakan mengolah minÂeral menjadi barang setengah jadi. Selanjutnya, produk itu diekspor, terutama ke China. Ke depannya, akan banyak investor yang menanamkan investasi di industri antara.
"Jika pasar domestik bagus, tentu mereka juga akan bermain di situ, misalnya, memasok baja untuk industri otomotif," kata Haris.
Sebelumnya, Direktur EkseÂkutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (The Indonesian Iron and Steel Industry AssociaÂtion/IISIA) Hidayat Triseputro memprediksi, permintaan baja di dalam negeri pada tahun depan diperkirakan menembus 14,5 juta ton. Permintaan tersebut lebih tinggi 7 persen dibandingÂkan eskpektasi permintaan tahun ini sebanyak 13,5 juta ton.
Menurut dia, proyeksi positif tersebut mendorong pabrikan baja multinasional mulai menaÂnamkan modalnya di Indonesia pada tahun depan. "Investor enggak takut, ada beberapa yang ingin masuk ke sini mulai tahun depan," ujarnya.
Menurutnya, beberapa pabriÂkan China berencana merelokasi fasilitas pengolahan bajanya ke Indonesia. Hanya saja, peÂmerintah memperketat standar penggunaan teknologi untuk mencegah relokasi pabrikan skala kecil.
Salah satu tantangan pengemÂbangan industri baja di dalam negeri merupakan kekurangan kapasitas untuk memenuhi perÂmintaan domestik. Kapasitas terpasang industri baja di dalam negeri masih jauh berada di bawah angka permintaan. ***