Menghadapi ancaman perubahan iklim dan cuaca ekstrem yang berdampak buruk terhadap komoditi pangan maupun non pangan, seharusnya membuat pemerintah sadar untuk mencapai pembangunan pertanian yang berkelanjutan, bukan hanya mengandalkan importasi yang justru akan melemahkan pondasi ekonomi nasional.
"Kondisi cuaca dan iklim ke depan akan banyak mengalami perubahan cukup drastis yaitu peningkatan suhu dan kelembaban, peningkatan intensitas radiasi matahari dan perubahan pola hujan. Kondisi ini akan mengakibatkan pergeseran awal musim tanam dan periode masa tanam," papar peneliti Cides Indonesia, M. Rudi Wahyono saat menjadi panelis FGD bertajuk 'Revitalisasi Pertanian Sebagai Upaya Peningkatan Kesejahteraan Rakyat di Tengah Perubahan Iklim dan Dinamika Global’ di Kemenristek Dikti, Jakarta, baru baru ini..
Dampak selanjutnya berupa degradasi lahan, kerusakan tanaman dan produktivitas, luas areal tanam dan areal panen, serta perubahan dan kerusakan keanekaragaman hayati. Secara fisiologis, Rudi menjelaskan, perubahan suhu menyebabkan peningkatan transpirasi sehingga menurunkan produktivitas tanaman, meningkatkan konsumsi air, mempercepat pematangan buah/biji, menurunkan mutu hasil, dan mendorong berkembangnya hama penyakit tanaman.
"Sejak 15 tahun lalu volume ekspor komoditi teh dan tembakau Indonesia terus mengalami penurunan. Namun dari sisi devisa terus mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan semakin lemahnya nilai mata uang kita terhadap mata uang asing. Ini hanya pertumbuhan semu," tambahnya sebagaimana rilis Cides Indonesia.
Hal itu dibenarkan panelis lain, Agus Wahyudi dari Dewan Teh Indonesia yang menyampaikan pengalamannya mengelola perkebuan tanaman non pangan. Menurut Agus, pemanasan global akan menggeser tanaman teh dan lainnya ke lahan lebih tinggi yang suitable.
"Saat ini semakin susah memelihara tanaman teh di dataran rendah karena memerlukan biaya operasional semakin tinggi. Penyakit tanaman teh semakin berkembang mengikuti level tanaman bahkan pada dataran tertinggi sekalipun," tuturnya.
Faktor perubahan suhu dan kelembaban juga ikut mendorong penyakit cacar daun teh (blister blight) sebagai salah satu penyakit utama pada tanaman teh, terutama di dataran tinggi. Penyakit cacar daun teh menyerang daun muda, ranting muda, batang muda. Cacar teh ini menyebabkan terjadinya penurunan hasil tanaman teh sampai 50 persen, dan juga kualitas teh hasil produksi.
Agus mencontohkan, dampak paling nyata perubahan iklim adalah penciutan lahan pertanian di pesisir pantai Jawa, Bali, Sumatera Utara, Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan.
Panelis lainnya, Iskandar Andi Nuhung menyayangkan kina, lada, vanili, cengkeh, tebu, atsiri yang dulu memiliki high value di pasaran internasional justru dipandang sebelah mata oleh pemerintah saat ini.
"Padahal tahun 1930an kita pernah surplus gula tebu dan mampu mengeskpornya keluar sekitar 3 juta ton pada tahun 1930an. Serta tembakau sebesar 24 rb ton. Demikian juga tanaman lain seperti biji kakao, kelapa, lada dan vanili mulai menghilang dari pasaran di domestik," ulasnya.
Andi Nuhung melihat sekarang sudah terjadi pengerusan terhadap komoditi tradisional yang pernah berjaya seperti yute, kapuk, kina, rosella, kelapa, tebu, tembakau, kakao, kapas, ternak sapi. Komoditi khas seperti vanili, sereh, pala, kayu manis, hampir tidak terdengar pengembangannya.
"Komoditi pertanian hari ini kecuali sawit, ada unsur impornya. Sehingga potensi ekonomi kerakyatan yang berasal dari teh tembakau, dan jagung akan hilang karena semua dikerjakan oleh impor industri. Dampak ikutannya, urbanisasi tidak bisa dihindari sehingga menimbulkan konflik sosial karena adanya kesenjangan pendapatan (gini ratio) dalam pendapatan mencapai 0,40 dan penguasaan lahan dengan gini ratio sangat parah mencapai 0,72," terangnya.
Oleh karena itu, dirinya mendorong agar Indonesia memiliki bank pertanian di pedesaan yang difasilitasi oleh pemda setempat.
"Indonesia adalah negara ironis karena mengklaim sebagai negara agraris namun tidak satu pun memiliki bank dan sistem asuransi pertanian," tutupnya.
[wid]