Petani sawit mendukung Badan Legislasi (Baleg) DPR yang memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkelapasawitan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2018. Sebagai komoditas strategis nasional, sawit dinilai perlu dilindungi negara melalui sebuah undang-undang.
Wakil Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (ApkasÂindo) Rino Afrino mendukung RUU Perkelapasawitan segera diundangkan. Keberadaan unÂdang-undang ini akan menÂegaskan posisi sawit sebagai komoditas strategis nasional.
"Karena menyangkut penÂerimaan negara yang besar dan kesejahteraan masyarakat. Jadi memang industri ini harus dilindÂungi aturan khusus," kata Rino.
Pihaknya optimistis, jika RUU ini diundangkan, maka perÂmasalahan di tingkat petani akan bisa diselesaikan. Selama ini, kata dia, petani sawit masih saja berkutat pada persoalan tata ruang, sertifikasi, produktivitas tanaman yang rendah, lahan gambut, tata niaga tandan buah segar (TBS), serta kemitraan dengan perusahaan. "Jadi kami dukung RUU Sawit masuk ProÂlegnas 2018," tegas Rino.
Anggota Komisi IV DPR Hamdhani mengatakan ada beberapa alasan utama pentingÂnya dibentuk RUU PerkelapaÂsawitan. Selain sebagai komodiÂtas strategis nasional yang perlu dilindungi, keberadaan UU ini juga akan melindungi kepentinÂgan petani sawit.
"Harus ada payung hukum khusus, hak-hak petani mestinya dilindungi, karena di perkebunan sawit ini tidak hanya dilakukan oleh pengusaha besar, tapi juga ada para petani baik plasma maupun petani mandiri," kata Hamdhani.
Sawit, kata dia, saat ini telah menjadi industri besar yang banyak menyerap sekitar 30 juta tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung. BahÂkan sejak 2016, komoditas ini memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar Rp 260 triliun.
Jumlah ini menempatkan sawit sebagai komoditas yang memberikan kontribusi terbesar terhadap PDB nasional, melamÂpaui sektor pariwisata, minyak dan gas bumi (migas). Oleh karena itu, lanjut Hamdhani, peÂmerintah sebaiknya mendukung RUU ini.
Sebab kalau tidak dibuatkan undang-undang khusus, dia yaÂkin, lambat laun industri sawit ini akan tergerus oleh komoditas seÂjenis yang dihasilkan oleh negara asing. "Eropa dan Amerika toh juga mati-matian melindungi komoditas rapeseed, bunga maÂtahari, canola dan kedelai mereka. Mereka kan selama ini yang melakukan kampanye negatif terhadap sawit kita," katanya.
Dalam RUU ini juga mengaÂmanatkan badan khusus yang mengatur soal sawit dari hulu hingga hilir. Adanya badan khusus ini, kata dia, akan meÂmudahkan pemerintah dalam mengatur industri yang telah terbukti menjadi penopang perÂekonomian nasional ini.
Dalam RUU tersebut, pihaknya akan memperjuangkan adanya dana bagi hasil bagi daerah penghasil sawit. "Saat ini ada 18 provinsi yang menghasilkan sawit. Namun tidak ada dana bagi hasil yang diberikan ke daerah. Harusnya ada dana bagi hasil sebagaimana yang terjadi di sektor migas. Apalagi industri sawit ini sudah melampaui sektor migas. Dana bagi hasil ini untuk pembangunan daerah," katanya.
Hamdhani juga tidak setuju jika RUU ini dinilai overlapÂing dengan Undang-Undang (UU) Perkebunan. Sebab, UU Perkebunan itu mengatur 127 komoditi. Sementara itu, UU ini mengatur khusus tentang kelapa sawit. "Untuk menyelesaikan perkelapasawitan perlu sebuah UU yang sifatnya lex specialis," katanya. ***