PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) yakin kinerja keuangan akan membaik di Tahun 2018. Hal ini didasarkan pada rencana peningkatan produksi sekitar 13 persen. Termasuk efisiensi pada biaya bahan bakar (fuel).
Selain itu, Garuda Indonesia juga mengandalkan bisnis anak usahanya untuk memperbaiki kinerja keuangan. Tahun depan, bisnis kargo diprediksi dapat tumbuh 15 persen.
Direktur Utama Garuda IndoÂnesia Pahala N Mansury mengaÂtakan, salah satu anak perusahaan yang diandalkan yakni perusahaan perawatan dan perbaikan pesawat PT GMF AeroAsia Tbk.
"Kami akan melakukan pengembangan bisnis lainnya seperti bisnis kargo, kemudian pendapatan yang lain. Garuda di holdingnya sebagai
breakevent dan memperoleh laba dari anak usaha seperti GMF, Aero Food," tutur Pahala di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, (18/12).
Bekas Direktur Keuangan Bank Mandiri ini menuturkan, maskapai juga akan meningkatÂkan waktu penggunaan pesawat terbang dari 9 jam 45 menit menjadi 10 jam 15 menit.
"Kami juga bermaksud terus melakukan
cost efisiensi, terÂmasuk fuel, kemudian melakuÂkan renegosiasi dengan beberapa leasing untuk pesawat-pesawat kami," katanya.
Kemudian, manajemen juga berharap kondisi Gunung Agung di Bali bisa semakin membaik agar peringatan
travel warning (peringatan perjalanan) dari beberapa negara bisa dicabut, khususnya China.
"Travel warning beberapa negara kami pahami akan exÂpired (habis tenggat waktu), jadi pertengahan Januari sudah lebih baik," tutur Pahala.
Sementara itu, hingga akhir taÂhun ini perusahaan memproyeksi meraup pendapatan sebesar 3,2 miliar dolar AS. Lebih lanjut, jumlah penumpang ditargetkan mencapai 35 juta hingga 36 juta penumpang.
Pahala masih optimistis, pendapatan perseroan bisa mencapai 3,4 miliar dolar AS setara Rp 45,9 triliun (kurs Rp 13.500). Bahkan, pendapatan tahun depan juga bisa meningkat sekitar 11-12 persennya.
Pada kurtal III Garuda IndoÂnesia masih mengalami kerugian sebesar 222,04 juta dolar AS atau setara Rp 302,4 miliar (kurs Rp 13.500).
Penting dilakukan Pengamat penerbangan Gerry Soejatman, pesimistis maskapai pelat merah ini bisa membukuÂkan kinerja yang positif tahun depan. Sebab, masih banyak hal yang perlu diperbaiki.
"Penting dilakukan itu, optimalisasi biaya. Tapi, harus dilakukan pelan-pelan. Misalnya, pengurangan biaya maintanance. Boleh turun, tapi tetap ada standar yang nggak boleh dilanggar," ujarnya kepada
Rakyat Merdeka.
Karenanya, ia heran, terkait semakin seringnya
delay (keterÂlambatan) yang dialami Garuda dibanding tahun lalu.
Ia pun, menyoroti seberapa
attractive-nya produk Garuda InÂdonesia ini bagi masyarakat. MisalÂnya, dari pembukaan rute-rute yang diterbangi seperti rute internasional menuju London, Inggris.
"Sekarang, kita lihat sampai akhir tahun nanti, berapa banyak jumlah penumpangnya? Turun atau naik dari tahun lalu? Ini bisa menjadi indikasi menarik nggak sih penumpang naik Garuda? Atau justru, penumpang lebih piÂlih Citilink (anak usaha Garuda)? Karena yang untung itu anak-anak usahanya, induknya sendiri? Saya pesimistis lihat tahun depan, kalau situasinya masih seperti sekarang," cetusnya.
Ia menilai, penurunan penumpang bisa dikarenakan adanya kenaikan tarif batas bawah yang diberlakukan pemerintah beberapa waktu lalu. Sehingga, hal ini memÂbuat maskapai kehilangan potensi pertumbuhan penumpang.
"Mestinya yang dinaikkan itu, tarif batas atas, kalau lagi high seasons (liburan), mau nggak mau orang beli. Tapi, kalau tarif bawah yang naik, penumpang pindah ke maskapai lainnya. Toh, ini justru bikin rugi (Garuda) ujung-ujungnya," sesalnya. ***