Berita

Net

Bisnis

Data Pangan Tidak Akurat Rugikan Rakyat

JUMAT, 15 DESEMBER 2017 | 13:33 WIB | LAPORAN:

Data pangan yang tidak akurat menyebabkan banyak hal, salah satunya penentuan kebijakan yang tidak efektif. Kebijakan yang tidak efektif tentu berdampak pada pemenuhan kebutuhan pangan rakyat.

Namun, selain data pangan yang tidak akurat, pemerintah bisa menggunakan cara lain untuk mengetahui kecukupan pasokan bahan pangan di pasar yaitu dengan menggunakan mekanisme pasar.

Kabag Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi menjelaskan, perbaikan data pangan mendesak dilakukan. Namun melihat hasilnya yang baru akan diumumkan Maret 2018 mendatang oleh Badan Pusat Statistik, pemerintah harus memikirkan solusi jangka pendek. Bertujuan untuk memastikan pasokan komoditas pangan cukup sehingga harganya tidak mahal. Di situ perlunya Indonesia memanfaatkan perdagangan internasional.


"CIPS tidak bosan menyuarakan hal ini karena memang pada kenyataannya harga pangan di Indonesia lebih mahal daripada harga pangan di pasar internasional. Rakyat Indonesia tidak bisa menunggu sampai Maret 2018. Kalau memang komoditas tersebut tersedia di pasar dan jumlahnya melimpah seperti klaim pemerintah selama ini harusnya harganya tidak mahal. Nyatanya harga komoditas pangan tetap mahal," jelasnya, kepada wartawan, Jumat (15/12).

Selain tidak adanya ketersediaan pangan yang cukup, ada beberapa hal yang menyebabkan mahalnya harga pangan seperti proses distribusi yang panjang, sehingga menyebabkan komoditas pangan masih tertahan di gudang. Adanya penimbunan yang dilakukan oleh distributor nakal dan pedagang tidak mau menjual komoditas karena terlalu lama ditimbun di gudang. Hal ini juga merugikan pedagang eceran.

Menurut Hizkia, ketidakakuratan data pangan di Tanah Air sudah sering disuarakan sebagai salah satu penyebab permasalahan penanganan pangan. Hal ini bisa disebabkan beberapa hal seperti parameter pengambilan contoh yang tidak tepat waktu, ketidakcermatan enumerator, dan juga ketidakakuratan data atau jawaban dari narasumber. Panjangnya distribusi data dari tingkat desa hingga pusat juga berpotensi menimbulkan ketidakakuratan.

"Yang menjadi masalah, Indonesia baru mau mengimpor kalau sudah ada data mengenai produksi pangan dalam negeri tidak cukup. Karena data tidak akurat maka pengambilan keputusan terkait impor juga tidak akan efektif untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Pemerintah harusnya fokus pada kepentingan rakyat sebagai konsumen. Mereka berhak mendapatkan pangan dengan harga yang terjangkau," terangnya.

Melihat kondisi itu, pemerintah seharusnya lebih fleksibel dalam mengambil kebijakan. Kalau pemerintah mengandalkan data untuk pengambilan kebijakan terkait impor maka secara logika sudah gugur dengan sendirinya karena data pemerintah tidak akurat. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya menyerahkan pada mekanisme pasar.
"Importir juga tidak akan mau rugi kalau mengimpor barang melebihi kebutuhan pasar. Untuk menghindari impor bermasalah, pemerintah harus menjalankan proses penunjukan importir secara transparan. Kalau penunjukannya masih menggunakan sistem kuota seperti sekarang maka hal ini bisa menjadi masalah baru karena membuka peluang terjadinya monopoli," beber Hizkia.

Mekanisme pasar yang baik akan efektif untuk mengendalikan harga. Selama ini, sistem patroli yang dijalankan pemerintah menunjukkan masih adanya ketidakberesan dalam distribusi pangan. Contoh, harga daging yang dipatok pemerintah di angka Rp 80 ribu per kilogram, kalau harga di perkulakan sudah mencapai Rp 90 ribu tidak mungkin penjual akan tetap menjual di angka Rp 80 ribu.

"Pengawasan yang berlebihan dikhawatirkan akan memunculkan modus baru yang merugikan konsumen. Misalnya saja mencampur daging sapi lokal dan mencampur beras berkualitas premium dengan beras biasa," demikian Hizkia. [wah]

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Pemkot Bogor Kini Punya Gedung Pusat Kegawatdaruratan

Senin, 29 Desember 2025 | 10:12

Dana Tunggu Hunian Korban Bencana Disalurkan Langsung oleh Bank Himbara

Senin, 29 Desember 2025 | 10:07

1.392 Personel Gabungan Siap Amankan Aksi Demo Buruh di Monas

Senin, 29 Desember 2025 | 10:06

Pajak Digital Tembus Rp44,55 Triliun, OpenAI Resmi Jadi Pemungut PPN Baru

Senin, 29 Desember 2025 | 10:03

Ketum KNPI: Pelaksanaan Musda Sulsel Sah dan Legal

Senin, 29 Desember 2025 | 09:51

Bukan Soal Jumlah, Integritas KPU dan Bawaslu Justru Terletak pada Independensi

Senin, 29 Desember 2025 | 09:49

PBNU Rukun Lagi Lewat Silaturahmi

Senin, 29 Desember 2025 | 09:37

PDIP Lepas Tim Medis dan Dokter Diaspora ke Lokasi Bencana Sumatera

Senin, 29 Desember 2025 | 09:36

Komisi I DPR Desak Pemerintah Selamatkan 600 WNI Korban Online Scam di Kamboja

Senin, 29 Desember 2025 | 09:24

Pengakuan Israel Atas Somaliland Manuver Berbahaya

Senin, 29 Desember 2025 | 09:20

Selengkapnya