Kabinet Kerja konsen terhadap urusan perut rakyat. Tahun depan, jumlah penerima beras sejahtera akan dinaikkan. Pemerintah diwanti-wanti untuk tidak mempolitisir program tersebut.
Kemarin, Presiden Jokowi menggelar rapat terbatas (ratas) membahas khusus soal beras sejahtera (rastra). Jokowi meÂmerintahkan jajarannya agar peÂnyaluran rastra berjalan lancar, tidak telat sampai ke penerima.
"Anggaran untuk program yang ditujukan 15 juta keluarga kurang mampu ini banyak, menÂcapai Rp 21 triliun. Dengan biaya sebesar itu, dan juga (program) memiliki dampak besar, kita harus benar-benar jadikan ini prioritas. Jangan sampai energi habis karena hal-hal yang kecil," pinta Jokowi di Istana Bogor.
Dia menerangkan, pemerintah telah berupaya memperbaiki sistem distribusi. Sejak tahun ini, skema penyaluran rastra berubah, dari semula masyarakat mendapatkan beras, sudah diuji coba diberikan dalam bentuk non tunai. Menurut Jokowi, uji coba harus dipastikan daÂhulu keberhasilannya sebelum jangkauannya ingin diperluas.
Jokowi meminta, penyaluran rasta tahun depan sudah diÂlakukan sebelum Badan Pusat Statistik (BPS) mendata angka kemiskinan pada Maret 2018.
"Bulan Maret akan ada survei nasional. BPS akan bertanya, apakah dalam empat bulan terakhir menerima rastra. Jangan sampai ada keterlambatan. Saya minta Perum Bulog Menteri Pertanian, Menteri BUMN, dan Menko PMK (pembangunan Manusia dan Kebudayaan bisa mengawalnya," katanya.
Ekonom
Institute for DeÂvelopment of Economics and Finance (Indef) Bhima YudhisÂtira Adhinegara mengapresiasi perhatian Presiden terhadap peÂnyaluran rastra. "Penyaluran rastra pada 2017 mengalami keÂterlambatan. Akibatnya jumlah kemiskinan meningkat 6.900 orang," ungkap Bhima.
Selain itu, menurut Bhima, Presiden memang harus memasÂtikan program ini berjalan lanÂcar. Karena, penerima program keluarga harapan (PKH) tahun ini berjumlah 10 juta keluarga, meningkat dari sebelumnya hanya 6 juta keluarga.
"Kalau sistem nggak siap, bantuannya nggak efektif tersaÂlurkan. Misalnya, mau terapkan pakai e-warung atau voucher pangan, harus dilihat dulu, apakah siap jika ada pedesaaan yang listrik saja belum masuk. Sementara kemiskinan itu banyak di pedesaan," katanya.
Bhima melihat, ada beberapa hal yang mengindikasiÂkan Kabinet Kerja belum siap mendistribusikan rastra dengan sukses. Antara lain soal validiÂtas data kemiskinan dan calon penerima yang belum sesuai antar instansi.
Bhima mengkritik distribusi rastra yang terkesan fokus untuk mengejar pendataan BPS. Apalagi, Presiden Jokowi semÂpat meminta BPS agar melakuÂkan koordinasi dulu sebelum survei. Presiden ingin agar surÂvei dilakukan setelah distribusi rastra. Seharusnya, pendataan kemiskinan tidak perlu diinterÂvensi maupun disiasati. Biarkan saja BPS melakukan tugasnya secara objektif.
Bhima menilai, idealnya, surÂvei dilakukan dua kali, sebelum dan sesudah penyaluran rastra. Sehingga, hasil survei itu tidak diragukan dan bisa digunakan untuk bekal pengambilan kepuÂtusan.
"Tahun depan sudah memasuki tahun politik. Penyaluran rastra sebaiknya ditujukan untuk meÂnanggulangi kemiskinan tanpa ada manipulasi data. Jangan mempolitisir bantuan sosial," pintanya.
Untuk memperbaiki distribusi rastra, Bhima menyarankan peÂmerintah memperbaiki masalah administrasi agar program bisa dipastikan tepat sasaran. KemuÂdian, mengefektifkan kinerja birokrasi agar penyalurannya tidak terlambat. ***