Pemenuhan dokumen administrasi kependudukan dan pencatatan sipil atau identitas hukum adalah hak setiap individu. Hak itu melekat sebagai pengakuan atas keberadaan dan perlindungan negara pada setiap warganya.
Hak tersebut juga wajib dipenuhi pemerintah tanpa diskriminasi berbasis ras, etnis, keyakinan, golongan, dan identitas seksual.
Maka itu, Kelompok Kerja Masyarakat Sipil Untuk Identitas Hukum (Pokja Identitas Hukum) menyambut baik Putusan Mahkamah Konstitusi 97/PUU-XIV/2016, yang menganulir Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) secara final dan pemaknaan “agama†sebagai mencakup “agama dan kepercayaan†dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk).
Bagi Pojka, putusan itu merupakan sebuah kemajuan di arah yang tepat. Putusan itu menegaskan hak konstitusional yang setara bagi setiap warga negara dalam berkeyakinan, dan tidak hanya terbatas pada enam agama yang diakui negara.
"Ini juga menguatkan semangat inklusif dan non-diskriminasi yang melandasi UU Adminduk secara keseluruhan," demikian pernyataan Pokja lewat pernyataan tertulis.
Meski ini adalah kemenangan, Pokja Identitas Hukum mengajak masyarakat untuk tidak lalai terhadap praktik-praktik diskriminasi di sektor publik yang lebih dari sekadar pengosongan atau pengisian kolom agama.
Beberapa pemberitaan dan publikasi mendokumentasikan kesulitan para penganut kepercayaan untuk mendaftarkan diri dan keluarga serta mencatatkan peristiwa penting seperti kelahiran, kematian, perkawinan, dan peristiwa penting lainnya sesuai dengan norma kepercayaan mereka.
Ada pula dokumentasi mengenai kelompok-kelompok masyarakat adat, seperti Orang Rimba, yang dikondisikan untuk mengaku menganut salah satu agama dominan untuk kemudahan mendapatkan dokumen kependudukan.
"Keputusan MK ini menuntut bukan hanya perubahan pada berbagai aturan pelaksana, tetapi juga pada sikap layanan publik yang sama pada seluruh warga tanpa dipengaruhi agama dan kepercayaan yang dianutnya," tambah Pokja.
Terkait putusan hukum yang final dan mengikat tersebut, Pokja juga mendesak Pemerintah serta berbagai lembaga terkait untuk segera menindaklanjuti dengan memperbaharui seluruh aturan terkait, sehingga dapat memulihkan hak-hak sipil dan keperdataan kelompok agama dan kepercayaan yang selama ini terdiskriminasi.
Aturan-aturan itu antara lain UU Administrasi Kependudukan, UU Perkawinan, UU 1/PNPS/1965, UU Sistem Pendidikan Nasional,serta berbagai peraturan perundangan terkait hukum keluarga, dan tata laksana administrasi kependudukan untuk semua aliran kepercayaan.
Pokja Identitas Hukum sendiri beranggotakan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungandan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA); Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI); Kemitraan-Partnership for Governance Reform; Lembaga Bantuan Hukum AsosiasiPerempuan Indonesia untuk Keadilan(LBH APIK); Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA); dan Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi(GANDI).
[ald]