Berita

Ilustrasi/Net

Jaya Suprana

Coco

RABU, 29 NOVEMBER 2017 | 08:49 WIB | OLEH: JAYA SUPRANA

SEBENARNYA saya bukan penggemar film kartun yang digarap dengan teknologi animasi komputer akibat saya merasa kehilangan sukma film animasi yang digarap secara non-komputer seperti Fantasia, Snow White atau Pinnochio.

Namun selera saya berubah setelah saya menonton film kartun berjudul Coco yang dipergelar-perdanakan pada Festival Film Internasional Morelia, Mexico 20 Oktober 2017 seminggu sebelum hari raya nasional Mexico : Dia de Muertos (Hari Raya Orang Mati) dan langsung menjadi film paling laris di Mexico sepanjang sejarah perfilman Mexico .

Meski semula saya justru merasa curiga atas pujian berlebihan terhadap film yang distrudarai Lee Unkrich didampingi Andrian Molina itu saya terpaksa harus mengakui bahwa Coco telah berhasil mempesona, menakjubkan bahkan mengharubiru lubuk sanubari saya sampai saya tidak mampu menahan tetesan air mata mengalir deras di permukaan pipi gembil saya.


Miguel Rivera
Judul film merupakan nama seorang nenek tua yang sudah pikun namun bukan pemeran utama film tersebut. Pemeran utama film Coco adalah seorang anak berusia 12 tahun bernama Miguel Rivera yang tinggal bersama nenek buyutnya bernama Coco beserta keluarga besar Rivera di sebuah dusun Meksiko. Miguel diam-diam bercita-cita menjadi pemusik akbar seperti almarhum super star Ernesto de la Cruz yang ditentang habis-habisan oleh keluarga besar Rivera yang secara fundemantalis alergi bahkan phobia terhadap profesi pemusik. Perjuangan Miguel Rivera untuk meraih cita-cita menjadi pemusik merupakan kisah film Coco yang sebaiknya tidak saya kisahkan di naskah yang dimuat RMOL ini agar pembaca naskah ini menonton film Coco itu sendiri.

Mahakarya
Yang mempesona, menakjubkan bahkan mengharubiru lubuk sanubari saya  adalah bagaimana film kartun animasi komputer berjudul Coco itu berhasil menghayati dan mewujudkan kebudayaan Mexico untuk menjadi suatu mahakarya sinematografi yang mahaindah baik secara visual , teatrikal mau pun musikal. Film Coco  berhasil mengekspresikan sukma peradaban dan kebudayaan Mexico dalam bidang seni rupa dan  seni musik secara sakti mandraguna dan paripurna.

Secara cerdik serta meyakinkan, Lee Unkrich  yang telah membuktikan kedigdayaan sebagai sutradara Toy Story 3 peraih penghargaan Oscar sebagai film animasi terbaik tahun 2010, berhasil menyelundupkan sosok almarhumah  senirupawati legendaris Meksiko, Frida Kahlo  sebagai arwah alam gaib ke dalam kisah film Coco .

Gaya seni rupa Meksiko warisan Diego Rivera juga semarak menyelinap hadir pada para sosok makhluk fantastis surealistis yang tampil di alam de Muertos. Bukan suatu kebetulan bahwa nama Rivera dipilih sebagai nama keluarga Miguel. Visualisasi adegan film Coco diawali dengan rangkaian seni gunting kertas tradisional Mexico. Suasana musik Mariachi, Salsa, Bolero, Flamenco, Mexican Son dari awal sampai akhir mendominasi sound-track film Coco. Kandungan seni rupa dan seni musik di dalam film Coco melayakan produksi  Pixar Animation Studios ini bukan sekedar sebagai produk hiburan namun sudah menjadi mahakarya kebudayaan.

Kebudayaan
Saya belum berani memastikan bahwa Coco pasti meraih penghargaan Oscar sebagai film animasi terbaik 2017 sebab saya belum sempat menonton film-film animasi lainnya yang diproduksi pada tahun yang sama. Namun mininal saya berani menjamin bahwa sungguh amat terlalu keterlaluan apabila film Coco tidak masuk nominasi film animasi terbaik untuk Oscar 2017.

Di samping terpesona, tertakjub dan terharubiru, sebenarnya saya juga tercemburu akibat belum ada produsen film memproduksi film animasi teknologi komputer yang digarap para sineas muda jamanow Indonesia menampilkan tema kebudayaan Indonesia yang jelas dalam keindahan apalagi kebhinneka-tunggal-ikaan terjamin tidak kalah ketimbang kebudayaan Meksiko bahkan terjamin tiada duanya di planet bumi ini. Kisah Semar, Wisanggeni, Drupadi, Roro Mendut, Bawang Putih, Kweiya tidak kalah mempesona, menakjub serta mengharubiru ketimbang Coco.[***]


Penulis adalah pianis, komponis, kartunis, pendiri Jaya Suprana School of Performing Arts

 





 

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Pasutri Kurir Narkoba

Rabu, 03 Desember 2025 | 04:59

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Berjuang Bawa Bantuan Bencana

Kamis, 04 Desember 2025 | 05:04

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

UPDATE

Rais Syuriyah PBNU: Ada Indikasi Penetrasi Zionis

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:49

Prabowo: Saya Tidak Punya Tongkat Nabi Musa, Tapi Semua Bekerja Keras

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:42

Mohammad Nuh Jabat Katib Aam PBNU Kubu Sultan

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:19

Konstitusionalitas Perpol Nomor 10 Tahun 2025

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:18

Pemeriksaan Kargo Diperkuat dalam Pemberantasan Narkoba

Sabtu, 13 Desember 2025 | 23:11

Korban Meninggal Akibat Banjir dan Longsor Sumatera Tembus 1.006 Jiwa

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:53

Aktivis 98 Bagikan Paket Bantuan Tali Kasih Natal untuk Masyarakat

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:52

Kader Pemuda Katolik Bali Cetuskan Teori PARADIXIA Tata Kelola AI Indonesia

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:39

Ketika Jabatan Menjadi Instrumen Pengembalian Modal

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:35

Tokoh Muda Dukung Prabowo Kejar Lompatan Gizi dan Pendidikan Indonesia

Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:29

Selengkapnya