Ekonom senior Rizal Ramli menanggapi rencana pembentukan holding BUMN bidang tambang. Indonesia Asahan Aluminium Persero (INALUM) akan menjadi induk dari holding pertambangan ini. Pembentukannya juga sebagai langkah awal pemerintah mengambil alih saham Freeport Indonesia.
Rizal mengakui pernah membahas cara mencari uang di luar APBN dengan Presiden Joko Widodo. Dalam diskusi itu, rencana yang disepakati adalah sekuritisasi aset, dengan tidak menjual saham dan aset, melainkan future income diterima sekarang.
Presiden setuju dan berpidato di kabinet tentang perlunya sekuritisasi. Namun, dalam perjalanannya, para pembantunya membelokkan kebijakan dengan sekadar menjual aset. Yang Rizal khawatirkan, sogokan di balik penjualan aset BUMN bernilai besar sekali seperti dalam kasus Indosat dan tanker Pertamina. Bukti-bukti korupsi hilang ketika asetnya dijual.
Karena itu, ia tidak setuju bila aset-aset negara yang bagus malah dijual. Setelah kritik terhadap rencana penjualan aset berhasil, muncul rencana limited concession scheme, sehingga pengelolaannya diserahkan kepada swasta. Ia hanya setuju bila terjadi pergantian direksi, misalnya. Proyek yang sudah jadi (brown project) tidak perlu dijual karena merugikan negara. Namun untuk green project atau proyek baru, ia setuju dengan KSO atau BOT.
"Jika di sekuritisasi, pengawasan sekuritisasi oleh OJK. tidak lagi oleh Menteri BUMN. Akan tetapi, kalau limited concession scheme, tetap juga di Menteri BUMN yang kinerjanya sama sekali tidak bagus dalam mengelola BUMN," terang Rizal, yang pernah menjabat menteri dan juga anggota tim ahli Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Ia mengatakan, Indonesia punya pengalaman buruk dengan dua bentuk holding, yaitu holding pupuk dan semen yang ternyata tidak membawa perubahan yang signifikan.
"Esensinya, holdingisasi hanya dapat efektif kalau betul ada peningkatan efisiensi dan pengurangan cost. Kalau tidak, itu hanya akan jadi tambahan birokrasi, nanti mau membuat apa-apa harus persetujuan direktur-direktur holding dan birokrasi akan lebih lama lagi dan ribet," tegasnya.
Soal rencana membeli Freeport, Rizal menduga itu hanya upaya untuk menggemukkan aset PT INALUM yang tidak begitu besar. Karena itulah maka ditambahkan tiga BUMN sehingga menjadi lebih besar, mendapat issue financing dengan dalih mau mengambil saham Freeport.
Padahal, Indonesia tak harus membeli Freeport karena sebenarnya masa kontrak perusahaan tambang raksasa dari Amerika Serikat itu bisa diselesaikan pada 2021.
Dia pun mengkritik keras kinerja Menteri BUMN, Rini Soemarno, yang berada di balik gagasan holding BUMN ini. Apalagi, Rini tidak pernah diperbolehkan rapat bersama DPR RI selama hampir dua tahun terakhir.
"Kalau ini terjadi di luar negeri, menteri bersangkutan sudah pasti mengundurkan diri atau dipecat oleh pemerintahnya. Bagaimana aset yang begitu strategis pertanggungjawabannya tidak jelas dan tidak dapat bertemu di DPR? Saya minta Presiden Jokowi cut loss dari kejadian-kejadian tidak lucu ini," ungkap Rizal.
[ald]