KEMELUT hukum yang menimpa Setya Novanto berakhir dramatis walau masih status tersangka proses hukum yang dilakukan KPK menjadikan Setya Novanto sebagai "bintang" dalam sebuah drama kejar mengejar, Telenovanto begitu kata sebagian orang.
KPK masih harus membuktikan Setya Novanto bersalah dalam kasus Mega Korupsi eKTP dalam persidangan-persidangan demikian pula Setya Novanto masih terus berupaya melakukan pembelaan yang menjadi haknya di hadapan hukum. Dalam waktu yang akan datang kita masih disuguhkan episode-episode drama korupsi eKTP yang akan makin menarik untuk disimak.
Golkar Post SN?
Golkar sebagai partai politik mengalami serangan bertubi-tubi dari berbagai kalangan karena keterlibatan Setya Novanto dalam kasus korupsi e KTP. Serangan tersebut tampak sistematis walau banyak juga "kreativitas" publik yang mengomentari hilangnya dan kecelakaan Setya Novanto menjadi gambar meme yang lucu-lucu maupun komentar di sosmed yang parodik memang ironis namun publik menjadikannya humor dan hiburan yang menarik.
Sisi yang lain, serangan ini tampak sistematis karena telah menurunkan popularitas dan elektabilitas Partai Golkar menjadi lebih rendah dibandingkan masa sebelum kasus ini meledak. Partai Golkar menjadi "bulan-bulanan" publik dari waktu ke waktu, simbol Partai Golkar Setya Novanto dianggap menjadi orang yang paling bersalah dalam kasus mega korupsi eKTP yang melibatkan puluhan nama-nama besar lainnya baik dari pihak swasta, DPR dan pemerintah.
Dalam situasi seperti ini Partai Golkar harus secara baik menjadikan momentum ini menjadi kesempatan memutarbalik situasi, situasi memang keadaan yang berat namun bukan tidak mungkin justru menjadi celah buat Golkar memperbaiki diri menjadi lebih baik. Partai Golkar bukanlah partai kecil dan bukan partai baru, Golkar mempunyai track record yang baik dalam mengatasi konflik internal, sebagai contoh setelah mengalami masa dualisme antara Golkar Ancol pimpinan Agung Laksono dan Golkar Bali pimpinan Aburizal Bakrie bisa berakhir baik yang menghasilkan persatuan dalam Munaslub Bali 2016 lalu. Segala perbedaan dan pertikaian bisa di selesaikan di atas meja perundingan yang berdasarkan argumen dan tentunya mengikuti secara konsisten AD ART Partai.
Kini, Golkar harus bisa menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang lebih baik dan penuh terobosan, paling tidak Golkar bisa melakukan 3 hal antara lain; 1) menjalankan proses regenerasi partai dengan memilih Ketua Umum baru, 2) menegaskan kembali komitmen sebagai Partai yang anti korupsi dan 3) menegaskan kembali Golkar sebagai partai politik yang mendukung Jokowi menjadi capres 2019. Dengan 3 cara tersebut, Golkar akan kembali pada jalurnya, back in the right track sebagai partai modern yang mampu menyelesaikan masalah tanpa masalah.
Sosok calon atau Ketua Umum Golkar yang baru harus merupakan sosok baru yang dapat memberikan image positif bagi partai Golkar; banyak kader Golkar yang bisa maju menjadi pengganti Setya Novanto namun dalam kesempatan tulisan ini baiknya kita abaikan dulu nama-nama kader yang memilik potensi untuk menjadi Ketua Umum Partai Golkar, lebih baik memberikan kriteria-kriteria yang bisa memberikan dampak positif baik ke internal maupun ke eksternal; antara lain krriteria tersebut antara lain; 1. kader muda , 2. bebas dan anti korupsi. 3. berkomitmen membesarkan partai. 4. memenuhi prinsip PDLT (Prestasi, Dedikasi dan Loyalitas Tidak Tercela). 5. berkomitmen untuk berpihak pada kepentingan rakyat.
Quo Vadis Golkar?
Pertanyaan penting lainnya selain terkait dinamika Partai Golkar pasca ditahannya Ketua Umum Setya Novanto dengan konstelasi penggantinya, baik memililh plt Ketum ataupun Munaslub adalah posisi Golkar dengan pemerintah dan posisi dengan Jokowi?
Apakah Golkar akan mereposisi hubungannya dengan pemerintah? Anggapan ini berkembang karena sebagian kader merasa terjadi ketidakimbangan antara apa yang sudah diberikan Golkar kepada pemerintah dan Jokowi. Sebut saja, Golkar selalu yang berada di depan terkait kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi, Tax Amnesty, UU Pemilu, UU Ormas dan APBN 2018. Golkar selalu mendukung dan menjaga kebijakan pemerintahan Jokowi selama menjadi anggota koalisi pemerintahan, namun apa yang didapat oleh Golkar?
Namun, sebagian lainnya, para kader tetap memilih untuk tetap bersama pemerintahan dan tetap mencalonkan Jokowi sebagai capres 2019 nanti.
Lalu sikap apa yang akan di putuskan oleh para kader Golkar pada Munaslub dan oleh Ketua Umum terpilih yang baru nanti?
Wallahu a'lam bishshawab
Penulis adalah Pengurus Bidang Media dan Penggalangan Opini DPP Partai Golkar