POLUSI visual merupakan aesthetic issue: Velbak terbuka, Billboard, kabel-kabel listrik, antena, kerangka reklame berkarat.
Mereka rusak pemandangan (a vista) di Jakarta. Triger eye fatigue. Terutama reklame. Multi-billion rupiah industry. Tapi enggak terlalu banyak faedahnya buat masyarakat. Tidak serap tenaga kerja sebesar pabrik-pabrik tekstil.
Jalanan penuh papan iklan is disaster. Selain jadi polusi visual, tiang-tiang reklame berbahaya. Banyak yang roboh.
Bagi Marxist thinkers, iklan adalah alat kapitalisme. It is seen as a socially useless device necessary in order to get excess production sold.
Belakangan, para pemikir konservatif dan ekonom juga mengkritisi iklan. Professor Mark Miller menyebut iklan sebagai "species of propaganda."
Di buku "The Theory of Monopolistic Competition", Professor Chamberlin membuat distingsi antara "production costs" dan "selling costs."
Konsumen membayar biaya iklan. Product-nya enggak berubah. Itu-itu saja. Padahal, tanpa iklan, produk itu bisa dijual dengan harga lebih murah. Biaya iklan ini masuk "selling cost".
Enggak heran bila ada yang bilang, "advertising is condemned as wasteful".
After Anies-Sandi jadi gubernur, ada benturan antara pemain reklame konvensional melawan Large Electronic Display (LED).
Pasal 8 Pergub 148 tahun 2017 membagi 4 zona billboard: Kawasan kendali ketat, sedang, rendah dan khusus.
ASOSIASI Perusahaan Media Luargriya Indonesia (AMLI) minta Pergub 148 ini direvisi. Mereka ingin pasang billboard konvensional di Jl. Thamrin-Sudirman. Pergub 148 hanya mengizinkan Reklame LED dipasang di area ini. Sedangkan reklame konvensional masih bertengger di zona-zona kendali rendah. Misalnya, Jembatan Penyebrangan Orang (JPO) di banyak wilayah masih jadi sasaran run amok reklame-reklame konvensional.
Reklame konvensional statik sudah ditinggalkan Broadway, New York, Oxford, London, dan Tokyo Jepang. Semuanya mengimplementasi LED. AMLI sendiri akui itu.
Kelemahan reklame konvensional adalah sifatnya statis. Satu produk. Bertengger sampai warnanya luntur. Tiang-tiang pancangnya tinggi, menutupi pemandangan, dan rentan roboh.
Di beberapa titik, kerangka reklame konvensional jadi bangkai berkarat. Ngga ada pengiklan. Dibiarkan saja begitu. Bikin Jakarta jadi mirip kota hantu.
Pajak LED jauh lebih besar. Tiangnya rendah karena lebih berat. Lebih irit, satu billboard LED bisa tayangkan 5-8 produk.
Kontradiksi antar pemain reklame ini tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat. Ada sekitar 80-100 pemain di Jakarta. N it is too much. Rata-rata pemain iklan konvensional yang menolak inovasi LED. Mereka lebih senang pasang tiang pancang dan menganggur setahun. Enggak perlu punya workshop. Tinggal pesan ke tukang besi.
Beda dengan LED Companies yang harus mengontrol layar setiap hari.
Semoga Anies-Sandi bisa memutuskan yang terbaik. Saya sendiri lebih senang LED. Kalau perlu, larang reklame konvensional secara total di Jakarta.
Mungkin, saya terlalu sering nonton video klip live show Alicia Keys yang berjudul "Empire State of Mind (Here in Times Square)". Di situ ada pagelaran LED fantastik menempel di gedung-gedung pencakar langit. That's A Metropolis should be.
Penulis adalah aktivis Komunitas Tionghoa Anti Korupsi