Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (Aptri) meminta pemerintah mencabut aturan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita tentang pembelian dan penjualan gula oleh Perum Bulog. Pasalnya, aturan tersebut merugikan petani tebu.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Aptri Soemitro Samadikoen saat diskusi terbaÂtas di kantor Sekretariat Wakil Presiden. Diskusi ini untuk menyelesaikan permasalahan surat Menteri Perdagangan No. 885/M-DAG/SD/8/2017 perihal pembelian dan penjualan gula oleh Perum Bulog yang menjadi polemik dan menjadi perhatian Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Dalam pertemuan itu, Soemitro didampingi Sekjen Aptri M Nur Khabsyin.
Dari pihak Sekretariat Wakil Presiden hadir Asdep Ketahanan Pangan dan Sumber Daya HayaÂti Wilarno Setiawan dan Kepala Bidang Pertanian Tuti Maryani. Sementara dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) hadir beberapa staf Ditjen PerdaganÂgan Dalam Negeri.
Soemitro mengatakan, suÂrat Mendag no. 885/M-DAG/ SD/8/2017 adalah kebijakan yang menyengsarakan petani. Sebab, dalam surat itu disebutÂkan hanya bulog yang boleh menjual gula curah atau karunÂgan ke pasar tradisional.
Bulog juga mematok harga gula petani hanya Rp 9.700 per kilogram (kg). Dengan adanya surat itu petani dan pedagang tidak boleh menjual gula curah ke pasar. Pedagang takut memÂbeli gula petani secara langÂsung.
"Sehingga gula petani tidak laku. Petani dan pedagang tidak nyaman, tidak merdeka dalam melakukan jual beli gula. Petani mensiasati dengan menjual gula dalam ukuran yang kecil-kecil kepada pedagang kecil," ujarnya.
Dia menilai, surat Mendag itu melanggar beberapa undang-undang. Seperti, Undang-UnÂdang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam Pasal 17 disebutkan pelaku usaha dilarang melakuÂkan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat menÂgakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Selain itu melanggar Undang-undang No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan Petani. Dalam Pasal 7 ayat 2 huruf b dan c disebutkan startegi melindungi petani melalui kepastian usaha dan harga komoditas pertanian. Aturan itu juga melanggar unÂdang-undang tentang HAM.
"Kebijakan mendag tidak adil karena pedagang dipaksa memÂbeli gula Bulog impor dengan harÂga Rp 11.000 per kg, sementara bulog hanya membeli gula petani Rp 9.700 per kg," ujarnya.
Karena itu, Aptri menuntut surat Mendag No. 885/M-DAG/ SD/8/2017 dicabut. Karena jika kebijakan ini diteruskan maka petani enggan menanam tebu. Alhasil, produksi gula nasional akan menurun.
Selain itu, Sekjen Aptri M Nur Khabsyin mengatakan, impor gula konsumsi yang tidak terkendali menyebabÂkan rembesan gula rafinasi di pasar. Kelebihan impor gula konsumsi sebanyak 1,2 juta ton, sedangkan rembesan gula rafinasi sebesar 900 ribu ton. "Rendemen tebu yang rendah akibat mesin pabrik gula yang sudah tua," tukasnya.
Sebelumnya, Menteri PerÂdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan, pembelian gula oleh Bulog dilakukan untuk penyÂerapan, namun pemerintah tidak menutup peluang pihak lain. "BuÂkan satu-satunya, yang lain boleh. Tetapi Bulog menjadi standby buyer dengan harga Rp 9.700 per kilogram," kata Enggar.
Enggar menjelaskan, penuÂgasan Bulog dilakukan karena tidak ada pembeli yang mau menyerap gula hasil pabrik BUMN. Oleh karena itu, dia menyarankan agar petani tebu mendukung pemerintah. ***