Banyaknya kepala daerah terpilh terjerat kasus korupsi masih jadi tanda tanya besar bagi masyarakat. Apakah prakÂtik korupsi itu terjadi sebagai bentuk pengembalian modal pilkada? Direktur eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin memprediksikan, pemenang Pilkada 2018 berpotensi terÂjerat kasus dugaan korupsi, jika mereka tetap melakukan cara kotor, misalnya korupsi dan bermain proyek.
"Potensi kepala daerah meÂnang pilkada ditangkap KPK sangat besar. Jadi calon kepala daerah butuh dana besar sehinggangutang. Untuk balikin dana itu, ya salah satunya dengan korupsi. Ini berpotensi untuk dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," kata Ujang kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Ujang menuturkan, tiga kali pilkada serentak pada 2015, 2017 dan 2018 setidaknya calon dipaksa merogoh kantongnya dalam-dalam. Bahkan tak jarang ada calon kepala daerah tertentu menghabiskan dana Rp 40 miliar untuk penÂcalonannya.
"Artinya pilkada tidak akan bebas dari korupsi jika calon kepala daerah masih harus mengeluarkan dana besar sepertiitu. Jika menang, merekamemutar otak untuk bisa mengembalikan modal. Maka tak jarang ada izin dan proyek diijon sebelum mereka terpiÂlih," jelas pengamat politik Universitas Al-Azhar ini.
Selain itu, Ujang mengungkapkan, aliran dana sumbangan cukung diduga lebih banyak cash and carry kepada calon. Karena itu harus diawasi dengan super ketat.
"Pengusaha memiliki dana akan memberikan dananya kepada calon. Ketika calon itu menang akan dibayar dengan proyek," paparnya.
Sebelumnya, mantan Ketua KPK, Busyro Muqoddas mengungkapkan fakta mengapa korupsi di Indonesia susah sekali ditekan angkanya.
Menurut Busyro, korupsi kian subur karena praktik politik uang dalam pilkada kian massif bahkan tak jarang terang-terangan.
"Sekarang kecil sekali ada pilkada tak ada duit suapnya," kata Busyro di Yogyakarta, Selasa (24/10).
Busyro memaparkan, praktik pilkada di Indonesia masih diwarnai politik uang. Pelakunya, pemodal besar mengharapkan pamrih proyek di tempat ia mendukung calon kepala daerah.
"Khususnya pemodal hobi bermain kotor untuk mendapat proyek," ujar Busyro
Fakta ini ditemukannya di sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Pilkada di kabupaten itu menelan biaya politik Rp 52 miliar. Padahal di kabupaten itu tak ada sumber pendanaandaerah besar. Busyro lalu mempertanyakan, bagaimana mengembalikan besarnya ongkospolitik itu pada pemodal?
"Ternyata pemodal itu mendapat prioritas pemegang proyek infrastruktur di kabupaten itu jika jagoannya meÂnang," ujarnya.
Dari hubungan pemodal denÂgan kepala daerah terpilih ituÂlah, kata Busyro, segala proyek infrastruktur daerah dipastikan hanya akan menuruti instruksi kepala daerah bersangkutan. Bukan sesuai kebutuhan keÂinginan masyarakat. ***