Menteri Kelautan dan PeriÂkanan Susi Pudjiastuti menÂgungkapkan, proses pengiriÂman ikan saat ini masih rumit dan sulit. Hal ini menyebabkan nilai produk ikan dari IndoneÂsia tidak tinggi.
"Ikan itu sebelum diekspor, berkeliling dulu di separuh wilayah Indonesia," ujar Susi dalam kuliah umum di UniÂversitas Indonesia, Depok, kemarin.
Susi menjelaskan, produk perikanan berbeda dengan produk pangan lain. Tingkat kesegaran menentukan nilai harga ikan. Jika ikan segar atau ikan hidup, harganya paling tinggi. Sedangkan, untuk ikan kalengan dan asin, harganya paling rendah. Menurutnya, hambatan utama dari pengiriÂman ikan segar selama ini adalah jalur pengiriman yang terlalu lama dan rumit. Hal ini menyebabkan ikan yang diekspor dalam bentuk ikan beku sehingga harganya tidak terlalu tinggi.
Susi mengungkapkan, hasil penangkapan ikan dari MeulaÂboh selama ini tidak langsung diekspor ke Singapura tapi dikirim dulu ke Jakarta. PadaÂhal, sebenarnya lebih efisien dikirim langsung.
Susi mengatakan, untuk mendorong kecepatan penÂgiriman ikan, bisa dilakukan dengan menggunakan pesawat terbang. Sehingga ikan yang diekspor dalam keadaan segar. Hanya saja, untuk mewujudkan pengangkutan dengan pesawat memerlukan bandar udara di sekitar pantai. Sayangnya, perizinan untuk mendirikan bandara sangat lama. "BanÂdara punya saya, sudah 20 tahun tidak keluar izinnya," curhatnya.
Susi mengaku sudah menÂgadu ke Presiden Jokowi. Menurutnya, Presiden juga gemas karena perizinan lama meskipun sudah diberikan araÂhan darinya secara langsung.
Pada kesempatan ini, Susi juga memaparkan alasannya melakukan penenggelaman kapal asing. Menurutnya, InÂdonesia negara kepulauan terbesar di dunia, namun hasil perikananannya cenderung sedikit. Bahkan, di antara negara-negara Asia Tenggara, hasil produksi ikan Indonesia hanya pada peringkat ketiga.
Selain itu, lanjut Susi, sekÂtor perikanan tidak signifikan memberikan kontribusi terhÂadap peningkatkan kesejahterÂaan masyarakat. Jumlah rumah tangga nelayan berkurang 50 persen dari 1,6 juta menjadi 800.000. Banyak nelayan beraÂlih profesi menjadi anak buah kapal (ABK) atau urbanisasi ke Jakarta. Hal ini terjadi karÂena sedikitnya ikan yang bisa ditangkap.
"Ironinya di tengah laut banyak kapal kargo ikan. Ini terjadi karena sejak tahun 2001 pemerintah Indonesia memberi lisensi ke kapal-kapal asing. Dan masalahnya penangkapan dilakukan dengan cara yang tidak bertanggung jawab," ungkapnya.
Oleh karena itu, pihaknya melakukan penegakan hukum terhadap kapal-kapal asing yang melanggar aturan. Selain itu, membenahi aturan main untuk melindungi nelayan dan meningkatkan pendapaÂtan negara seperti melakukan moratorium kapal asing dan melarang bongkar muat ikan di tengah laut. ***