Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) kemarin memperingatkan bahaya utang kepada sejumlah negara. Kata mereka, bila tak diantisipasi sedini mungkin, negara tukang utang berpotensi mengalami krisis. Menanggapi hal ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani cuek aja.
Seperti diketahui, pertemuan tahunan atau Annual Meeting International Monetary Fund (IMF) dan World Bank di Washington berlangsung sejak 11-15 Oktober. Sri Mulyani hadir sebagai perwakilan Indonesia di acara itu.
Dipimpin oleh Presiden Grup Bank Dunia Jim Yong Kim, IMF dan Bank Dunia memberikan sejumlah rekomendasi terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia. Melalui Ken Kang, Deputy Director, Asia and Pacific Department, IMF sempat memberikan pandangan tentang ekonomi sejumlah negara, termasuk Indonesia. Penilaiannya soal utang, bila tak diantisipasi sedini mungkin, maka negara berpotensi menuju krisis.
Namun Sri Mulyani cuek saja menanggapi warning ini. Menurutnya, yang diminta IMF waspada soal utang adalah negara seperti India dan Brasil. Contohnya India, yang menurut Sri Mulyani mengalami defisit anggaran sangat tinggi setiap tahunnya. Dengan pertumbuhan ekonomi yang sudah di atas 6-7 persen seharusnya penarikan utang bisa dikurangi.
"IMF menyoroti khusus India. Karena India itu kan defisit cukup besar, karena sampai 6 persen dari PDB, maka disebutkan pertumbuhan kalau tinggi harusnya bisa kurangi defisit," jelas Sri Mulyani di Washington, Sabtu lalu atau Miinggu Waktu Indonesia Bagian barat.
Brasil juga dalam sorotan, karena berencana menambah utang dalam jumlah besar demi mendorong ekonomi yang jatuh pasca anjloknya harga komoditas. Di samping juga Rusia dan Nigeria.
"Brasil yang ingin lakukan stimulasi ekonomi tapi defisit fiskal sangat besar. Sehingga membutuhkan konsolidasi juga. Jadi bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan konsolidasi dan di satu sisi stimulasi ekonomi," terang Sri Mul.
Deretan negara tersebut bisa masuk ke jurang krisis bila tidak ada penanganan lebih cepat. "Secara umum dengan likuiditas yang banyak dengan suku bunga yang rendah, ada berapa negara yang muncul eksesif
private debt melonjak tinggi banget," paparnya.
"Itu kelihatan di beberapa negara yang tadi disebutkan dan oleh karena itu ini muncul sebagai risiko. Kalau nanti suku bunga secara cepat dan kalau nanti ada sentimen
capital outflow maka negara-negara ini akan mengalami vulnerabilities yang menjadi sangat besar," kata Sri Mulyani.
Optimisme juga disampaikan Menko Perekonomian Darmin Nasution. Dia yakin, pertumbuhan ekonomi nasional mampu terdongkrak di kuartal III dan IV 2017. Bahkan angka yang diyakini oleh pemerintah lebih tinggi dari proyeksi yang ditetapkan oleh IMF dan Bank Dunia.
"Pertumbuhan ekonomi kita masih akan bergerak diangka mendekati 5,4 persen," ujar Darmin di Jakarta, kemarin. IMF juga melihat adanya optimisme baru dari perekonomian Indonesia. Baru-baru ini, dana moneter internasinal itu menaikan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 5,2 persen.
Adapun Bank Dunia justru menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,2 persen menjadi 5,1 persen. Namun pemerintah menilai penurunan ini lebih disebabkan pandangan tidak adanya kenaikan harga BBM.
Meski begitu, pemerintah masih menyimpan optimisme tinggi. Hal itu karena investasi, konsumsi rumah tangga, ekspor impor, dan belanja pemerintah masih positif.
"Belanja pemerintah memang belum terlalu baik namun tetap tumbuh cukup baik. Artinya pertumbuhannya lebih baik dari tahun lalu namun tidak setinggi yang diharapkan," kata Darmin.
Di sisi lain, pemerintah menyayangkan pertumbuhan kredit hanya ada di kisaran 8-9 persen. Padahal bila angkanya bisa lebih tinggi, maka bukan tak mungkin pertumbuhan ekonomi juga ikut terdongkrak
Pengamat ekonomi dari Insitute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus menyayangkan optimisme berlebihan yang ditampilkan oleh Sri Mulyani. Dia menyarankan, pemerintah juga mendengarkan pendapat dunia internasional.
"Kesannya jadi cuek, inikan pertimbangan lembaga internasional," ujar Heri kepada
Rakyat Merdeka. Menurutnya, jika dibandingkan dengan India dan Brasil, Indonesia memang terlihat lebih baik karena rasio utang kedua negara itu memang lebih besar. Tapi utang kita yang mencapai Rp 4.000 triliun juga harus dipertimbangkan, dari mana kita membayarnya.
"Yang jadi ancaman jika sudah jatuh tempo, jangan sampai gali lobang tutup lobang karena tidak mampu bayar utang. Karena kebutuhan pembangunan infrasturuktur kita besar," ucapnya. ***