Sidang gugatan perdata kepemilikan lahan antara Prajadi Agus Winaktu dengan Adi Nugroho kembali digelar Pengadilan Negeri Mataram, Senin kemarin (16/10).
Adi Nugroho didugat karena dianggap tidak kunjung menyerahkan sebagian lahan yang dibeli melalui PT Sumber Sejahtera Lestari Lombok (SSLL) dari PT Wanawisata Alam Hayati (WAH) seluas 81.686 meter persegi di kawasan wisata Pulau Gili Trawangan. PT SSLL juga digugat sebagai tergugat dua. Dalam persidangan, tergugat satu dan dua menghadirkan saksi ahli yakni Prof. Muzakkir ahli hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) dan Prof. Zainal Asikin dari Universitas Mataram.
Prof. Muzakkir mengatakan, gugatan tersebut melanjutkan gugatan pidana. Intinya, soal bagaimana kedudukan putusan pidana yang sudah inkrah dalam konteks perkara perdata.
"Kalau perkara perdata tidak boleh berdiri sendiri karena ujungnya harus diawali oleh pidana. Maka putusan inkrah dari Mahkamah Agung menjadi dasar dari kebenaran dari penarikan kebenaran yang lain. Prinsipnya seperti itu," jelasnya.
Oleh karena itu, jika menggugat perdata maka isinya tidak boleh bertentangan dengan putusan pengadilan pidana yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap atau inkrah dan sudah diuji melalui persidangan. Terkait dengan pengembalian barang bukti yang menjadi objek dalam perkara, akademisi senior dari Yogyakarta itu menilai bahwa berdasarkan putusan yang ada. Alat bukti berupa tanah dikembalikan kepada PT SSLL. Dengan pertimbangan karena penilaian hakim bahwa kepemilikan atas PT SSLL berdasarkan dokumen yang diperiksa di persidangan pidana.
"Sehingga kalau mau dikembalikan harus diperiksa dulu ini milik siapa, buktinya mana. Kan harus seperti itu. Ketika sudah sertifikat berupa bukti formil begitu maka dia dikembalikan kepada PT SSLL," ungkap Prof. Muzakkir.
Secara korporasi PT SSLL membeli lahan dari PT WAH, sehingga dalam konteks kepemilikan tidak ada gugatan perorangan. Artinya, jika ada sengketa terkait dengan kontrak perorangan semestinya tidak ada objek terhadap kepemilikan PT SSLL itu. Untuk itu jika memang ingin mengajukan gugatan perdata maka penggugat bisa saja menggugat PT SSLL.
"Maka pertanyaannya adalah pemiliknya itu siapa. Kan PT WAH asalnya dia jual kepada PT SSLL. Kalau itu ada orang bersengketa, legal standing kepada PT WAH ada tidak. Bisa dicek nanti dalam dokumen, ada tidak hubungannya dengan PT WAH. Kalau ada hubungannya gugat dong PT WAH karena kok dijual kepada yang bersangkutan," beber Prof. Muzakkir.
Secara tersirat, gugatan tersebut salah alamat karena gugatan seharusnya bisa diperjelas. Apakah menggugat terhadap kepemilikan lahan atau perjanjian yang sudah dibuat pada akta nomor 81.
"Kalau mengenai akta 81 ya gugat saja yang itu kenapa PT SSLL dilibat-libatkan, PT WAH juga bisa digugat karena dia mempunyai legal standing. Kalau hanya berdua ya hanya pribadi saja, jangan dilibatkan PT SSLL. Nanti bisa dicek dalam pasal akta 81 itu perjanjiannya hanya pribadi ke pribadi, sementara perjanjian itu adalah corporate to corporate. Terus kenapa dihubung-hubungkan ke situ," tandas Prof. Muzakkir.
Feby Maranta Sukatendel selaku penasehat hukum penggugat mengatakan, keterangan Prof. Muzakkir sudah menguatkan terhadap apa yang didalilkan gugatan pemohon. Pihaknya sudah menyampaikan bahwa ada suatu putusan pidana yang terkait perkara perdata dan kedudukan dari putusan pidana tersebut.
"Sudah dijelaskan bahwa putusan pidana itu menjadi dasar bagi hakim perdata untuk membuat putusan. Menurut keterangan, jangan nanti ada kebenaran yang berbeda, harus kebenaran yang hakiki," katanya.
Dalam putusan pidana nomor 995, ada pertimbangan dari Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa tanah sengketa di Gili Trawangan tersebut telah dibeli dari dana yang bersumber dari Prajadi Agus Winaktu dan Adi Nugroho.
"Ini kan sudah ada kebenaran materil disitu bahwa itu sumbernya. Lalu dikatakan diputusan pidananya. Dalam pertimbangannya bahwa PT WAH tidak berhak lagi atas tanah sengketa. Baru disebutkan seberapa besar hak penggugat atas tanah sengketa itu ditentukan oleh peradilan perdata. Menurut kita ini sudah selaras bahwa sudah ada putusan pidana yang mempertimbangkan hal tersebut. Makanya konteks gugatan perdata ini adalah menindak lanjuti putusan pidana tersebut. Yaitu seberap besar hak atau bagian dari penggugat atas tanah sengketa," jelasnya.
[wah]