Pemerintah memiliki pekerjaan rumah dalam upaya meningkatkan daya saing nasional. Laporan Global Competitiveness Index (GCI) menunjukkan daya saing Indonesia stagnan selama tiga tahun terakhir.
"Ada empat PR (pekerjaan rumah) serius pemerintahan Presiden Jokowi yang harus dituntaskan di periode 2014-2019 mendatang," ujar Peneliti Wiratama Institute Muhammad Syarif Hidayatullah kepada redaksi, Kamis (28/9).
Dia mengatakan, pada 2014 daya saing Indonesia berada pada peringkat 34 dan melorot ke peringkat 36 pada tahun 2017. Dan jika dibandingkan tahun 2016 lalu, memang ada sedikit perbaikan atau naik 5 peringkat.
"Tetapi hal itu lebih seperti penebusan karena memburuknya daya saing nasional semenjak tahun 2014 lalu," papar Syarif.
Empat pekerjaan rumah serius yang harus dituntaskan pemerintah, yaitu pertama masalah korupsi dan birokrasi menjadi dua hal utama yang selalu dikeluhkan oleh banyak pihak. Sehingga hal itu menjadi pekerjaan rumah utama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK).
Kedua, berdasarkan parameter GCI isu health and primary education dan labour market efficiency juga menjadi dua hal yang melemahkan daya saing. Secara berturut-turut kedua isu tersebut menempati peringkat 94 dan 96. Khusus pada indikator health and primary education, katanya lagi, peringkat Indonesia menurun drastis dari 74 pada tahun 2014, menjadi peringkat 92 pada tahun 2017.
Ketiga, isu fleksibilitas upah dan partisipasi perempuan juga menjadi hal utama. Terkait partisipasi perempuan dalam dunia kerja, ungkap Syarif, juga perlu menjadi perhatian pemerintah. Pasalnya, tingkat partisipasi Angkatan Kerja Perempuan sudah mengalami stagnansi selama beberapa tahun terakhir.
"Pemerintah perlu melakukan intervensi, seperti memperketat pengawasan untuk menghindari diskriminasi gender di dunia kerja, mendorong perusahaan memiliki ruang laktasi, subsidi untuk penitipan anak, pelatihan khusus untuk pekerja perempuan," tutur Syarif.
Terakhir adalah stagnannya peringkat infrastruktur Indonesia. Jika dibanding tahun 2016 lalu memang tercatat ada peningkatan terjadi hingga delapan peringkat. Akan tetapi, apabila dibandingkan tahun 2014 yang berada di peringkat 56 maka cenderung stagnan sebab secara skor hanya ada kenaikan sebesar 0.1.
"Hal ini menjadi anomali mengingat Pemerintah acapkali klaim pembangunan infrastruktur besar-besaran. Sebagai pembanding, pada periode kedua Presiden SBY peringkat Indonesia meningkat tajam dari posisi 82 pada tahun 2009, menjadi peringkat 56 pada tahun 2014, dimana skor infrastruktur Indonesia meningkat dari 3,2 menjadi 4,4," papar Syarif.
Dia melanjutkan bahwa selama ini pemerintah selalu menyebutkan kenaikan alokasi yang begitu besar. Faktanya realisasi di lapangan sering jauh dari target.
"Contohnya untuk realisasi belanja modal pada tahun 2016 itu hanya sebesar Rp 160 triliun atau hanya 78 persen. Angka itu bahkan di bawah realisasi tahun 2013 yang sebesar Rp 180triliun," demikian Syarif.
[wah]