Kekeringan yang melanda sebagian wilayah di Tanah Air terus meluas. Sejumlah daerah sudah menetapkan status siaga darurat. Kementerian Pertanian (Kementan) mengklaim sejauh ini fenomena tersebut tidak sampai menganggu produksi beras.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas KemenÂtan, Suwandi mengungkapkan, kekeringan yang melanda beÂberapa wilayah Indonesia belum sampai memasuki masa ekstrim. Indikasi tersebut terlihat dari wilayah Indonesia bagian utara masih tersedia air.
"Kami terus memantau perkembangan. Wilayah BengÂkulu terpantau sudah mulai hujan. Dan, diperkirakan pada Oktober mulai turun hujan di berbagai wilayah. Kita harapÂkan, kekeringan tidak samÂpai mengganggu pertanian," kata Suwandi kepada Rakyat Merdeka, Rabu (20/09).
Kementan mencatat total lahan yang mengalami kekeringan seÂjak Januari hingga Agustus tahun ini seluas 56.334 hektare (ha) Kekeringan tersebut tersebar antara lain di sejumlah wilayah Jawa Barat (Jabar), Sulawesi Selatan, Aceh, dan Jawa Tengah (Jateng).
Suwandi memastikan kekeringan tidak berdampak signifiÂkan bagi penurunan produksi pertanian. Menurutnya, puso akibat kekeringan sekitar 16 ribu ha x 5 ton per ha, total ada 80 ribu ton yang terkena dampak.
"Itu jauh di bawah total produksi nasional 79 juta ton gabah kering giling (GKG). Hanya sekitar nol koma nol sekian persen yang terdampak," ungkapnya.
Namun demikian, Suwandi menegaskan, Kementan tidak menganggap enteng masalah ini. Pihaknya sudah menyiapkan langkah antisipasi kekeringan sejak Maret 2017 sambil terus memonitor data perkiraan curah hujan dari Badan Metereologi dan Geofisika (BMKG).
Antisipasi tersebut, dipaparkan Suwandi, antara lain mendistriÂbusikan pompa pada wilayah yang ada sumber air sungai dan pemanfaatan embung pada lahan kering. Lalu melakukan perceÂpatan tanam, penyediaan benih tahan kekeringan, menggenÂjot tanam di lahan rawa lebak terutama di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan.
Selain itu, lanjut Suwandi, Kementan menyediakan skema asuransi pertanian untuk mengurangi kerugian akibat gagal panen baik akibat kekeringan maupun penyebab lainnya.
Menurutnya, petani yang terkena dampak puso akibat kekeringan, hama wereng dan lainÂnya bisa klaim asuransi sebesar Rp 6 juta per ha. "Saat ini, total klaim dari petani mencapai 6 ribu ha dan telah dibayar senilai Rp 39 miliar," jelasnya.
Dirjen Tanaman Pangan KeÂmentan, Gatot Irianto juga meÂnyampaikan hal yang sama. Menurutnya, dengan berbagai antisipasi yang sudah dilakuÂkan, kekeringan sejauh ini bisa ditangani cukup baik. "Sudah nggak ada cerita lagi, kekeringan mengganggu produksi padi," cetusnya.
Sebaliknya, lanjut Gatot, keÂmarau memberikan sisi positif terhadap hasil panen. BerkurangÂnya air membuat, hasil panen lebih bagus.
Seperti diketahui, jumlah wilayah yang mengalami kekeringan belakangan ini terus bertambah. Menghadapi perÂsoalan tersebut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng sejak bulan lalu telah menetapkan staÂtus siaga darurat kekeringan.
Di Provinsi ini setidaknya kekeringan terjadi di 275 keÂcamatan yang terdiri dari 1.254 desa di 30 kabupaten/kota. SeÂlain Jateng, Pemprov Jabar juga telah menyatakan status siaga darurat.
Ada delapan daerah yang mendapat status siaga kekeringan di antaranya Kabupaten Ciamis, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Indramayu, Kabupaten KaraÂwang, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Sukabumi, Kota Banjar, dan Kota Tasikmalaya. Kekeringan juga terjadi di Jawa Timur. Di wilayah ini tercatat setidaknya 169 desa mengalami krisis air. Kondisi yang sama juga terjadi di beberapa wilayah di luar pulau Jawa meskipun jumlahnya tidak signifikan.
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) WiÂnarno Tohir mengamini klaim pemerintah. Menurutnya, antisiÂpasi yang dilakukan pemerintah cukup berhasil menekan gagal panen akibat kekeringan.
Dia juga memuji program asuransi pertanian atau Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP). WiÂnarno berharap, program itu menjangkau semua jenis pangan, tidak hanya padi. ***