Meski menuai pro kontra, Bank Indonesia (BI) tetap memutuskan biaya isi ulang (top up) e-money maksimal Rp 1.500. Kebijakan BI ini disebut tidak pro rakyat.
Anggota Komisi XI DPR Bidang Keuangan Wilgo Zainar berpendapat, kebijakan GuberÂnur BI Agus DW Martowardojo akan menyengsarakan rakyat. Sebab, sebesar apa pun biaya top up saldo e-money tetaplah membebankan.
"Coba dihitung, orang isi salÂdo bisa 3-5 kali sebulan. Biaya Rp 1.500 dikali hitung paling banyak 5 kali, total biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 7.500 per bulan. Perbankan mendapatkan manfaat bunga capai Rp 64 juta dikali minimal ada 50 ribu kartu, bisa sampai Rp 3,2 triliun itu besar sekali. Mereka masih mau ambil untung juga dari biaya top up," imbuh Wilgo kepada Rakyat Merdeka.
Politisi Partai Gerindra ini meÂnegaskan, kebijakan BI tersebut telah menjadi paradoks, di mana Bank Sentral tengah gencar meÂnyerukan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT), namun di sisi lain wasit sistem pembayaran itu malah membebankan masyarakat.
Apapun alasan yang dipakai BI maupun perbankan, imbuhÂnya, pihaknya tetap keberatan. "Jika alasan pengenaan biaya top up karena tidak murahnya inÂvestasi teknologi, itu kan sudah menjadi kewajiban perbankan. Sebab, jika teknologi mereka tidak diupgrade, bisnis mereka akan tergerus seiring perkemÂbangan zaman," tandas.
Untuk itu Komisi XI berenÂcana memanggil Bekas Menteri Keuangan tersebut, bersama HimÂpunan Bank-bank Negara (HimbaÂra), pengelola jalan Tol Jasa Marga dan pihak lain yang terkait.
"Intinya, hampir sebagian besar kami di Komisi XI tidak sepakat dan menolak dengan keputusan BI itu. Senin depan kami baru rencana ada pembicaraan untuk penjadwalan pemanggilan mereÂka. Karena minggu ini Komisi XI ada kunjungan Kerja di Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Jawa Timur," katanya.
Rencananya dalam rapat berÂsama BI tersebut, selain memÂpertanyakan kebijakan yang tidak pro rakyat, Komisi XI juga akan membahas Undang-Undang Mata Uang. Di mana dalam beleid itu disebutkan bahwa alat pembayaran rupiah yang sah adalah rupiah, seÂdangkan pembayaran dengan kartu e-money belumlah diatur.
"Kalau e-money menjadi satu-satunya alat pembayaran yang digunakan di tol tanpa ada tranÂsaksi tunai, harus ada amandeÂmen penambahan klausul dalam undang-undang. Dan ini tidak serta merta saja langsung diberÂlakukan. BI tak boleh seenaknya menerapkan aturan tanpa melihat aturan lainnya," tegasnya.
Setali tiga uang, pengacara Perlindungan Konsumen DaÂvid Maruhum Tobing yang melaporkan BI ke Ombudsman juga sangat menyesalkan tinÂdakan Agus Marto yang tidak mendengarkan keberatan dari masyarakat. Ia lalu menuding ada sesuatu target yang harus dikejar, apalagi masalah ini seÂdang diselidiki ombudsman tenÂtang dugaan maladministrasi.
"Pantang mundur, saya akan tetap menggugat selama aturan tersebut merugikan konsumen. Bagaimana perinciannya, saya harus lihat lagi aturannya, karena untuk menggugat harus jelas obyek gugatannya," tutur David saat dihubungi
Rakyat Merdeka. Menurut David, dalam UU Mata Uang disebutkan, tidak boleh menerima uang selain rupiah, dan uang elektronik tidaklah diatur dalam UU hanya dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) saja.
"BI ngotot lakukan ini, ubah dulu undang-undangnya. Aturan dalam PBI itu tidak lebih tinggi kedudukannya dari undang-undang," tandas David.
David mengatakan, harusnya dalam kebijakan elektronifikasi jalan tol tetap diberikan gardu khusus yang menerima uang tunai. Ini karena uang tunai merupakan pembayaran yang sah menurut UU.
Sebelumnya, lewat pernyataan Ketua Himbara Maryono, bank-bank pelat merah setuju untuk menggratiskan biaya top up e-money. Namun semuanya tetap dikembalikan kepada Bank SenÂtral, karena Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BTN akan mematuhi apapun kebijakan BI.
Dalam pernyataan resmi Bank Indonesia kemarin, Kepala DeparÂtemen Komunikasi BI Agusman Zainal menyatakan, pihaknya telah mengatur besaran biaya
top up e-money dalam aturan yang baru diterbitkan, Peraturan AngÂgota Dewan Gubernur No.19/10/ PADG/2017 tanggal 20 September 2017 tentang Gerbang PembaÂyaran Nasional/
National Payment Gateway (PADG GPN). PADG GPN merupakan aturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.19/8/PBI/2017 tentang GPN.
Untuk pengisian top up On Us (pengisian ulang yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu), untuk nilai samÂpai dengan Rp 200 ribu, tidak dikenakan biaya alias gratis. Sementara untuk nilai di atas Rp 200 ribu dapat dikenakan biaya maksimal Rp 750.
Sementara
top up Off Us (pengisian ulang yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu yang berbeda/ mitra), dapat dikenakan biaya maksimal sebesar Rp 1.500.
"Kebijakan skema harga ini mulai berlaku efektif 1 (satu) bulan setelah PADG GPN diterÂbitkan, kecuali untuk biaya
Top Up On Us yang akan diberlakuÂkan setelah penyempurnaan keÂtentuan uang elektronik. Seluruh pihak dalam penyelenggaraan GPN wajib memenuhi aspek transparansi di dalam pengenaan biaya," terang Agusman.
Agusman melanjutkan, penetapan batas maksimum biaya
Top Up Off Us uang elektronik sebesar Rp 1.500 dimaksudkan untuk menata struktur harga yang saat ini bervariasi. UnÂtuk itu, penerbit yang saat ini telah menetapkan tarif di atas batas maksimum tersebut wajib melakukan penyesuaian.
Bank sentral beralasan, penetapan kebijakan skema harga berdasarkan mekanisme
ceiling price (batas atas), dalam rangka memastikan perlindungan konÂsumen dan pemenuhan terhadap prinsip-prinsip kompetisi yang sehat, perluasan akseptasi, efisiensi, layanan, dan inovasi.
"Dengan rata-rata nilai top up dari 96 persen pengguna uang elektronik di Indonesia yang tidak lebih dari Rp 200 ribu, Bank Sentral melihat, kebijakan skema harga
Top Up diharapÂkan tidak akan memberatkan masyarakat," imbaunya. ***