Nama Goenawan Mohamad ikut disentil terkait hebohnya pro-kontra Film Pengkhianatan G30S/PKI. Dia disebut-sebut orang yang merekomendasikan nama Arifin C Noor kepada Direktur Perum Pusat Film Negara (PPFN) G. Dwipayana untuk menggarap film tersebut.
Benarkah demikian?
Lewat tulisan yang diunggah di Facebooknya, wartawan senior ini memberikan penjelasan lengkap.
Berikut tulisan seutuhnya
FILM ITU
Saya punya hubungan sejarah selintas dengan film yang kini dihebohkan itu, "Pengkhianatan G30S". Dimulai dengan lari pagi.
Secara reguler, beberapa tahun sebelum film itu dibuat, saya berlatih marathon atau semi marathon di sekitar Gelora Bung Karno. Di sana juga saya sering bertemu dengan G. Dwipayana -- Mas Dipo -- seorang pelari yang fanatik.
Pada suatu ketika, ketika kami beristirahat di bawah bayang-bayang bangunan besar itu, Mas Dipo bertanya: "Kamu tahu sutradara film yang bagus?"
Dia bilang Perusahaan Film Negara akan membuat sebuah film (tak disebutkan film apa).
"Ada, mas. Teguh Karya dan Arifin C. Noer".
"Teguh Karya saya tahu. Kalau Arifin apa filmnya?"
Waktu itu, "Suci Sang Primadona" baru beredar di bioskop-bioskop. Saya sebut karya Arifin itu -- yang menurut saya bagus.
Mas Dipo mengatakan ia akan menonton "Suci".
Lalu kami berpisah: saya melanjutkan lari ke lingkar luar GBK, Mas Dipo entah ke mana.
Beberapa hari kemudian kami bertemu lagi di tempat yang sama.
"Eh, ya, saya sudah nonton film itu. Bagus.", katanya. "Saya akan ajak Arifin bikin film nanti".
Setelah itu, kami tak pernah bicara mengenai film, atau Arifin, atau sejarah (Mas Dipo bukan orang yang tertarik tentang ini).
Baru kemudian saya dengar Arifin mulai membuat film yang kemudian disebut "Pengkhianatan G30S" itu, dari serpihan-serpihan cerita tentang teman-teman yang diajak ikut bermain di dalamnya: Syu'bah Asa, (kritikus teater yang jitu tapi tak pernah main film), Pramana Padmadarmaya (dosen teater di IKJ), dan Umar Kayam (sastrawan).
Waktu itu saya sibuk dengan pekerjaan saya, mengelola Majalah Tempo, maka saya hampir tak pernah bertemu dengan Arifin dan mengikuti kerjanya dari dekat. Syu'bah tak pernah bercerita tentang pengalamannya -- mungkin karena ia tidak ingin diketahui bahwa ia, redaktur Tempo, ikut bermain film, dan dengan demikian kurang berkonsentrasi pada pekerjaan utamanya.
Lalu film itu selesai. Baru setelah itu saya dengar anekdot-anekdot tentang prosesnya. Misalnya, tentang Umar Kayam.
Umar Kayam, kata Mas Dipo, bukan pilihan pertama untuk peran Bung Karno. Dwipayana mula-mula memilih Eddy Sud, pelawak yang memang mirip Bung Karno muda. Mas Dipo bercerita bahwa ide memasang Eddy Sud dibatalkan karena Presiden Suharto tak setuju. "Mosok Bung Karno dimainkan seorang badut", kata Suharto sebagaimana dikutip Mas Dipo.
Lalu Umar Kayam dipilih.
Mas Kayam tidak pernah bercerita kenapa ia, seorang sarjana, bekas pejabat, dan sastrawan berwibawa, mau jadi "bintang film". Mengenal Mas Kayam --yang memandang hidup dengan humor -- saya duga ia tidak merasa sedang menjalankan kerja besar yang serius; mungkin sekali ia melihatnya sebagai iseng, atau coba-coba, dan melihat ini proyek "amatiran". Tim yang disusun Arifin terdiri dari teman-teman sendiri: ini semacam film "entre nous," "antar-kita-saja". Mungkin sambil geli Mas Kayam tampil sebagai Bung Karno. Beberapa kali ia memang menertawakan pengalamannya jadi "bintang film" di situ..
Saya tak sempat memberi komentar tentang hasil kerja Mas Kayam, Syu'bah dan Arifin. Sampai hari ini, saya belum pernah menonton film yang kini jadi heboh itu.
Mungkin karena saya tak begitu yakin film itu sebuah karya yang hebat. Tapi mungkin karena saya tak punya waktu untuk menontonnya. [***]